Cyber Zone

Tentang Harga Diri

Harga diri, penting kah itu? Apa sih harga diri? dalam definisinya kita kita bisa mendefinisikan seperti ini. Harga diri adalah pandangan keseluruhan dari individu tenang dirinya sendiri. Harga diri menajadikan kita sebagai kita apa adanya kita. Tanpa meminta kita sudah memiliki harga diri. Bernilai mahal ataukah murahnya harga diri kita, kita yg menentukan. Siapa kita, harga diri kitalah yg menjelaskan siapa kita. Jangan pernah bergantung kepada siapapun, harga diri kita terlalu hina untuk selalu bergantung kepada orang lain. Hargai diri kita sendiri, hormati potensi yg ada dalam diri kita sendiri. Jangan pernah berfikir orang akan selalu baik ke kita. Jangan pernah berfikir orang akan selalu ikhlas kepada kita saat kita butuh pertolongannya. Jadikan diri kita orang yg bebas.
READMORE
 

10 Nasihat Untuk Orang Bercinta



Berikut adalah nasihat-nasihat berguna untuk orang-orang yang bercinta:
1. Janganlah kau membiarkan kemanisan bercinta dihirup sebelum engkau berkahwin dengan 'si dia'.
2. Bercintalah kau dengan nya dengan sekadarnya. Kelak mungkin 'si dia' mungkin bukan jodoh untukmu.
3. Jika kau ingin berbahagia seumur hidup, tahanlah dirimu untuk berbahagia sebelum kau berhak menjadi milik 'si dia'.
READMORE
 

Cinta Suci Zahrana

 Takbir Cinta Zahrana

Takbir Cinta Zahrana
Takbir Cinta Zahrana
(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa)

Matanya berkaca-kaca. Kalau  tidak  ada kekuatan  iman
dalam  dada  ia mungkin  telah memilih  sirna  dari  dunia.
Ujian  yang  ia  derita  sangat  berbeda  dengan  orang-
orang  seusianya.  Banyak  yang  memandangnya  sukses.
Hidup berkecukupan.  Punya  pekerjaan  yang  terhormat
dan  bisa  dibanggakan.  Bagaimana  tidak,  ia  mampu
meraih  gelar  master  teknik  dari  sebuah  institut
teknologi  paling  bergengsi  di  negeri  ini.  Dan  kini  ia
dipercaya  duduk  dalam  jajaran  pengajar  tetap  di
universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa
Tengah: Semarang. 
 


Takbir Cinta Zahrana
Satu 

Tidak  hanya  itu,  ia  juga  pernah  mendapatkan
penghargaan  sebagai  dosen  paling  berdedikasi  di
kampusnya.  Ia  sangat disegani  oleh  sesama dosen dan
dicintai  oleh  mahasiswanya.  Ia  juga  disayang  oleh
keluarga  dan  para  tetangganya.  Bagi  perempuan
seusianya,  nyaris  tidak  ada  yang  kurang  pada  dirinya.
Sudah  berapa  kali  ia  mendengar  pujian  tentang
kesuksesannya.  Hanya  ia  seorang  yang  tahu  bahwa
sejatinya ia sangat menderita. 
Ada  satu hal  yang  ia  tangisi  setiap malam. Setiap kali
bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia
menangisi  takdirnya  yang  belum  juga  berubah.  Takdir
sebagai  perawan  tua  yang  belum  juga  menemukan
jodohnya. Dalam keseharian  ia tampak biasa dan ceria.
Ia  bisa  menyembunyikan  derita  dan  sedihnya  dengan
sikap tenangnya. 
Ia terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa tidak
menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa tidak
berani  menikah  ketika  si  Gugun  yang  mati-matian
mencintainya  sejak  duduk  di  bangku  kuliah  itu
mengajaknya menikah? 
Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap Gugun
itu  tidak  cerdas  dan  tipe  lelaki  kerdil.  Sekarang  si
Gugun  itu  sudah  sukses  jadi  pengusaha  cor  logam dan
baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah
tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di
Jakarta.  Setiap  kali  bertemu,  nyaris  ia  tidak  berani
mengangkat muka. 



Takbir Cinta Zahrana
Kenapa  juga  ketika  selesai  S.l  ia  tidak  langsung
menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB
Bandung?  Padahal  saat  itu,  temannya  satu  angkatan  si
Yuyun  menawarkan  kakaknya  yang  sudah  buka  kios
pakaian  dalam  di  Pasar  Bringharjo  Jogja.  Saat  itu
kenapa  ia  begitu  tinggi  hati.  Ia  masih  memandang
rendah  pekerjaan  jualan  pakaian  dalam.  Sekarang
kakaknya  Yuyun  sudah  punya  toko  pakaian  dan  sepatu
yang  lumayan  besar  di  Jogja.  Akhirnya  ia  menikah
dengan seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir,
Krapyak. 
Dan  sekarang  telah  membuka  SDIT  di  Sleman.  Apa
sebetulnya  yang  ia  kejar?  Kenapa  waktu  itu  ia  tidak
juga  cepat  dewasa  dan  menyadari  bahwa  hidup  ini
berproses. 
Ia  meneteskan  airmata.  Dulu  banyak  mutiara  yang
datang kepadanya ia tolak tanpa pertimbangan. Dan kini
mutiara itu tidak lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah
sudah  tidak  lagi  tersedia  untuknya.  Hanya  bebatuan
dan  sampah  yang  kini  banyak  datang  dan membuatnya
menderita batin yang cukup dalam. 
Matanya  berkaca-kaca.  Ketika  ia  sadar  harus  rendah
hati.  Ketika  ia  sadar  prestasi  sejati  tidaklah  semata-
mata  prestasi  akademik.  Ketika  ia  sadar  dan  ingin
mencari pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya
dan  juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika  ia  sadar dan
ingin menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari,
semua  yang  ia  temui  kini,  adalah  jalan  terjal  yang
panjang yang menguji kesabarannya.  


Takbir Cinta Zahrana
Umurnya  sudah  tidak  muda  lagi.  Tiga  puluh  empat
tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki
anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik
tingkatnya,  bahkan  mahasiswi  yang  ia  bimbing
skripsinya  sudah  banyak  yang  nikah.  Sudah  tidak
terhitung  berapa  kali  ia  menghadiri  pernikahan
mahasiswinya.  Dan  ia  selalu  hanya  bisa  menangis  iri
menyaksikan mereka  berhasil menyempurnakan  separo
agamanya. 
Hari  ini  ia  kembali  diuji.  Seseorang  akan  datang.
Datang  kepada  orangtuanya  untuk  meminangnya.  Ia
masih bimbang  harus memutuskan  apa  nanti.  Ia  sudah
sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia
juga sudah tahu apa yang harus  ia putuskan. Meskipun
pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal
dan  panjang  sampai  ia  menemukan  mutiara  yang  ia
harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan
pemahaman  kepada  ayah-ibunya  yang  sudah  mulai
renta? 
Hand  phone-nya  berdering.  Dengan  berat  ia  angkat,
"Zahrana?"  Suara  yang  sangat  ia  kenal.  Suara  Bu
Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, ataulengkapnya
Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia
orang  kepercayaan  Pak  Karman.  Sejak  SMA  ia  di
Semarang,  jadi  logat  Bataknya  nyaris  hilang.  Bahasa
Jawanya bisa dibilang halus. 
"Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata menetes di
pipinya. 
"Saya  dan  rombongan  Pak  Karman  sudah  sampai
Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai." 



Takbir Cinta Zahrana
"Iya  Bu  Merlin."  Jawabnya  hambar,  dengan  suara
serak. 
"Suaramu  kok  sepertinya  serak.  Sudahlah  Rana,
bukalah  hatimu  kali  ini.  Pak  Karman memiliki  apa  yang
diinginkan  perempuan.  Dia  sungguh-sungguh  berkenan
menginginkanmu." 
"Iya  Bu Merlin,  semoga  keputusan  yang  terbaik  nanti
bisa saya berikan." 
"Baguslah kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya  jangan  lupa
dandan yang cantik." Klik. Tanpa salam. 
Kali  ini  yang  datang  melamarnya  bukan  orang
sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas
Teknik,  orang  nomor  satu  di  fakultas  tempat  dia
mengajar. Duda berumur  lima puluh  lima tahun. Status
dan  umur  baginya  tidak masalah.  Sudah  bertitel  haji.
Kredibilitas  intelektualnya tidak diragukan. Materi tak
usah  ditanyakan. Di  Semarang  saja  ia  punya  tiga  pom
bensin.  Namun  soal  kredibilitas  moralnya,  susah
Zahrana  untuk  memaafkannya.  Repotnya,  jika  ia
menolak  ia  sangat  susah  untuk  menjelaskan.  Ia  harus
berkata bagaimana. 
Ia  telah  membicarakan  hal  ini  pada  kedua  sahabat
karibnya. Si Lina, yang kini  jualan buku-buku Islami di
Tembalang.  Dan  si  Wati  yang  kini  jadi  isteri  lurah
Tlogosari  Kulon.  Lina  berpendapat  untuk  tidak
mengambil  risiko  dengan  menerima  orang  amoral
seperti  Pak  Karman  itu.  Apapun  titel  dan  jabatannya.
Moral adalah nyawa orang hidup. Jika moral  itu hilang
dari  seseorang,  ia  ibarat mayat  yang  bergentayangan.
Itu pendapat Lina.  


Takbir Cinta Zahrana
Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya ia
tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat  itu
hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih shalat dan
puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang. Dan
juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang. 
Terakhir  Wati  bilang,  "Siapa  tahu  dengan  menikah
denganmu,  Pak Karman berubah. Dan di hari  tuanya  ia
sepenuhnya  membaktikan  umurnya  untuk  kebaikan.
Bukankah  itu  bagian  dari  dakwah  yang  agung
pahalanya?" 
Ia  belum  bisa  mengambil  keputusan.  Kata-kata  Wati
selalu  terngiang-ngiang  di  telinganya.  Ia  nyaris
memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman.
Namun  jika  ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman
pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam,
ia  tak  mungkin  memaafkan.  Jika  sudah  demikian
tibatiba  wajah  keriput  kedua  orangtuanya  muncul
dengan  sebuah  pertanyaan,  "Kowe  mikir  opo  Nduk?
Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"1 
*** 
Lima  menit  sebelum  rombongan  Pak  Karman  datang,
Zahrana berbicara kepada kedua orangtuanya. Ia minta
kepada mereka  pengertiannya  jika  ia  nanti mengambil
keputusan  yang  mungkin  tidak  melegakan  mereka
berdua.  Diberitahu  seperti  itu  kedua  orangtuanya
menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali
pasrah  dalam  kekecewaan.  Namun  mereka  tetap
berharap  akan  terjadi  hal  yang  membahagiakan.
Mereka berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata
wayang mereka  lain dari  sebelum-sebelumnya. Semoga



Takbir Cinta Zahrana
hatinya  terbuka.  Segera  menikah.  Dan  segera  lahir
cucu yang jadi penerus keturunan. 
Kamu  mikir  apa,  Anakku?  Kamu  menunggu  apa?  Kapan
kamu menikah, Anakku? 
la meneguhkan  jiwa, menata  hati.  la  juga memprediksi
gaya bahasa  yang  akan disampaikan  pihak  Pak Karman.
Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk menjawab.  la
juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang pantas untuk
menghormati tamu. Ruang tamu telah ia rapikan. Bunga-
bunga  ia  tata, dan  sarung bantal  ia  ganti dengan  yang
baru. Tuan rumah harus bisa menjaga kehormatan. Dan
ia  kembali  meneguhkan  prinsipnya  dalam  menghadapi
siapapun: harus tenang, bicara yang tepat, rendah hati
dan santun. Itulah senjata para pemenang. Dan ia harus
menang. Ia teringat perkataan Napoleon Hill, 
"Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui
kerendahan hati dan tidak banyak cakap." 
Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental yang
ia  siapkan  adalah  mental  seorang  dosen  pembimbing
yang  siap  maju  sidang  membela  mahasiswanya
mempertahankan  skripsinya.  Ia  sangat  yakin  akan
kekuatannya. 
Ia  berdandan  secukupnya.  Ia  pakai  jilbab  hijau  muda
kesayangannya.  Sangat  serasi  dengan  gamis  bordir
hijau  tua  bermotif  bunga  melati  putih  kecil-kecil.
Hanya  dirinya  dan  kedua  orangtuanya  yang  akan
menyambut.  Ia  merasa  tak  perlu  mengundang  para
kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal
yang  tidak  memuaskan  hanya  akan  jadi  gunjingan
panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi.  


Takbir Cinta Zahrana
Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang sudah
jadi.  Yang  tak  ada  ruang  bagi  mereka  berbincang
kecuali  kebaikan.  Kali  ini  yang  ia  undang  justru  dua
orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya selama
ini. 
Rombongan Pak Karman datang tepat jam setengah lima
sore. Tidak main-main. Empat mobil.  la harus mengakui
kehebatan  Bu  Merlin  mengorganisir  ini  semua.  Juga
keberhasilan  Bu  Merlin  memprovokasi  Pak  Karman
untuk  nekat  seperti  ini.  Ayah  ibunya  tampak  kaget.
Tidak  menduga  yang  datang  akan  sebanyak  ini  dan
seserius  ini.  Untung  ruang  tamu  rumah  orangtuanya
cukup luas. 
Hanya  tiga  orang  yang  tidak  dapat  tempat  duduk.
Terpaksa duduk di beranda.  la  yakin  tujuan Bu Merlin
baik, hanya saja Bu Merlin tidak tahu visi hidupnya saat
ini.  Bukan  sekadar  materi  dan  kedudukan  yang  ia
harapkan  dari  calon  suaminya.  la  mencari  calon  suami
yang  bisa  dijadikan  imam.  Imam  yang  menjadi  bagian
tak  terpisahkan  dalam  ibadahnya  kala  mengarungi
kehidupan.  Karena  itulah  posisinya  benar-benar  sulit
kali  ini.  Bu  Merlinlah  yang  selama  ini  banyak
membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu memberi
bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya. 
Rombongan  telah duduk  tenang.  Pak Karman menyukur
bersih  kumis  dan  cambangnya.  Ia  tampak  lebih  muda
dari  biasanya.  Koko  biru  muda  dan  peci  hitam
membuatnya  tampak  alim.  Seorang  lelaki  setengah
baya,  mengaku  sebagai  adiknya  Pak  Karman,  namanya
Pak Darmanto mengawali pembicaraan. Unggah-ungguh 



Takbir Cinta Zahrana
dan  basa-basi  berjalan.  Ia  sendiri  lebih  banyak  diam.
Tak  bicara  jika  tidak  perlu  bicara.  Ibunya  yang
biasanya  memang  cerewet  yang  banyak  mengimbangi
bicara. 
Sesekali  ada  lelucon-lelucon  yang  menghangatkan
suasana.  Makanan  dan  minuman  dikeluarkan  oleh  dua
orang  ibu-ibu  yang  rapi  berkerudung.  "Tape  ketan  ini
dibuat oleh anakku, si Zahrana  ini dengan penuh cinta.
Siapa yang memakannya insya Allah awet muda." Ibunya
melucu sambil mempersilakan tamu-tamunya menikmati
hidangan  seadanya.  Mendengar  hal  itu  spontan  Pak
Karman berkomentar dengan gaya lucu, 
"Sebelum  yang  lain  mengambil  saya  dulu  yang  harus
mencicipi.  Agar  awet  muda  dan  bisa  menyunting
bidadari." 
Spontan  perkataan  itu  disambut  tertawa  semua  yang
hadir,  kecuali  dirinya.  Entah  kenapa  perkataan  itu
menurutnya  tidak  lucu.  Perkataan  itu  seperti  sampah
yang  hendak  dijejalkan  ke  telinganya.  Bagaimana
mungkin  ia  hidup  bersama  orang  yang  suaranya  saja
tidak mau ia dengar. 
Lima  belas  menit  basa-basi  akhirnya  Pak  Darmanto,
juru  bicara  Pak  Karman,  masuk  pada  inti  kedatangan,
"...dan  maksud  kedatangan  kami  adalah  untuk
menyambung  persaudaraan  dan  kekeluargaan  dengan
keluarga  Bapak Munajat.  Kami  bermaksud  menyunting
putri  Bapak  Munajat,  yaitu  Dewi  Zahrana  untuk
saudara  kami  Bapak  H.  Sukarman,  M.Sc.  Alangkah
bahagianya jika maksud dan tujuan kami dikabulkan."  


Takbir Cinta Zahrana
Ayahnya  menjawab  dengan  suara  rentanya  yang
terbata-bata, 
"Pertama....tama,  ka...kami  sekeluarga  menyampaikan
rasa  terima  kasih  atas  silaturrahminya.  Kami  juga
bahagia. Bagi ka..kami  lamaran  ini adalah  suatu bentuk
penghormatan.  Dan  jika  bisa  kami  akan  membalasnya
dengan  penghormatan  yang  le..lebih  baik.  Namun
masalah  jodoh  hanya  Allahlah  yang  mengatur.  Putri
kami  sudah  sangat  dewasa.  Dia  lebih  berpendidikan
daripada  kami  berdua.  Dia  bisa  memutuskan  sendiri
mana yang baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan." 
Masalah  sudah  jelas. Semua  tamu melihat ke  arahnya.
la tahu bola sekarang ada di tangannya. Dialah sekarang
yang  paling berkuasa di majelis  itu.  la berusaha  untuk
tenang.  Setenang  ketika  ia  membantu  argumen
mahasiswa yang dibelanya dalam sidang skripsi, 
"Saya  pernah  mendengar  Baginda  Nabi  Muhammad
Saw.,  pernah  bersabda,  'Al  'ajalatu  minasy  syaithan.
Tergesa-gesa  itu  datangnya  dari  setanl'  Saya  tidak
mau  tergesa-gesa.  Saya  tidak  mau  mengecewakan
siapapun.  Termasuk  diri  saya  sendiri.  Maka
perkenankan  saya  untuk  menjawabnya  tiga  hari  ke
depan.  Saya  akan  langsung  sampaikan  kepada  Pak
Karman  yang  saya  hormati.  Maafkan  jika  saya  tidak
bisa menjawab sekarang." 
Ada  sedikit  gurat kekecewaan di wajah  Pak Darmanto
dan  Pak  Karman. Namun  keduanya  tidak  bisa bersikap
apapun  kecuali  setuju.  Bu  Merlin  tersenyum  tanda
setuju. Yang lain bisa memahami dan memaklumi. 



Takbir Cinta Zahrana
Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan airmata
mendengar  jawaban  putrinya  itu.  Ia  sudah  tahu  ke
mana arah perkataan putrinya itu. 
Menjelang  Maghrib  rombongan  itu  pamit.  Zahrana
langsung ke kamarnya mengatur kata yang tepat untuk
disampaikan  pada  Pak  Karman.  Ia  tersenyum,  dengan
senyum yang susah diartikan. 
* * * 
"Kamu  masih  nunggu  yang  bagaimana  lagi,  Nduk?  Pak
Karman  memang  agak  tua,  tapi  ia  berpendidikan  dan
kaya.  Dia  juga  bisa  tampak  muda."  Kata  ibunya  yang
sudah tahu keputusannya. 
"Saya  tidak  menunggu  yang  bagaimana-bagaimana  Bu.
Saya menunggu  lelaki  saleh  yang  pas di  hati  saya.  Itu
saja." Jawab Zahrana. 
"Lha Pak Karman itu apa masih kurang saleh. Dia sudah
haji.  Sudah  menyempurnakan  rukun  Islam.  Kita  saja
belum." Bantah ibunya. 
Ia  merasa,  memang  agak  susah  memahamkan  ibunya
bahwa  kesalehan  tidak  dilihat  dari  sudah  haji  atau
belum.  Tidak  dilihat  dari  pakai  baju  koko  atau  tidak.
Tidak bisa dilihat dari pakai peci putih atau peci yang
lainnya.  Betapa  banyak  penjahat  di  negeri  ini  yang
bertitel haji. Setiap  tahun haji  justru untuk menutupi
kejahatannya.  Atau  malah  berhaji  untuk  melakukan
kejahatan  di musim  haji.  Ibunya  tidak  akan  nyambung
dia ajak dialog masalah itu. 
"Pokoknya menurutku  Pak  Karman masih  kurang.  Saya
sangat  tahu  siapa  dia,  soalnya  saya  satu  kampus 


Takbir Cinta Zahrana
dengannya.  Nanti  kalau  ada  yang  cocok  pasti  saya
menikah Bu." 
Begitu  mendengar  dari  jawabannya  ada  perkataan
"pokoknya",  sang  ibu  langsung  diam  dengan  raut muka
sedih. Dalam hati ia istighfar jika telah melukai ibunya. 
Tapi ia tidak mau asal menikah. Menikah adalah ibadah,
tidak  boleh  asal-asalan.  Harus  dikuati  benar  syarat
rukunnya. Meskipun  ia  tahu  ia  sudah  jadi  perawan  tua
yang  sangat  terlambat  menikah,  namun  ia  tidak  mau
gegabah dalam memilih ayah untuk anak-anaknya kelak. 
Zahrana masuk kamar dan menulis surat jawaban untuk
Pak Karman dengan komputernya. Bahasanya tegas dan
lugas: 
Kepada 
Yth. Bpk. H. Sukarman, M.S.c 
Di Semarang 

Assalamu'alaikum Wr. Wb. 

Semoga Bapak senantiasa sehat dan berada dalam 
naungan hidayah-Nya. 

To the point saja, tanpa mengurangi rasa hormat saya 
kepada Bapak, saya ingin menyampaikan bahwa saya 
belum bisa menerima pinangan Bapak. Semoga Bapak 
mendapatkan yang lebih baik dari saya. Mohon maklum 
dan mohon maaf jika tidak berkenan. 

Wassalam, 
Dewi Zahrana 

la  lalu  menge-print  surat  itu  dan  memasukkannya  ke
dalam  amplop  putih.  Ia  akan  minta  bantuan  seorang



Takbir Cinta Zahrana
mahasiswanya  untuk menyampaikan  hal  itu  kepada  Pak
Karman  besok  pagi.  Dan  ia  sudah  berketetapan  akan
mengambil  cuti  satu minggu.  Sebab  jawaban  itu  pasti
tidak diinginkan oleh Pak Karman. Bahkan pasti  sangat
mengecewakan  Pak  Karman.  Untuk  menjaga  hal  yang
tidak  baik,  lebih  baik  ia  tidak  masuk  kampus.  Dan
kembali masuk jika suasana kembali seperti sediakala. 
Apa  yang  ia  rencanakan  berjalan.  Dan  apa  yang  ia
prediksi  terjadi.  Dua  hari  kemudian  ia  mendapatkan
SMS dari Pak Karman: 
"Suratmu  sudah  aku  terima.  Kamu  pasti  tahu  bahwa
jawabanmu sangat mengecewakan aku!" 
Ia membaca jawaban itu dengan hati tidak enak. Entah
kenapa  ia  merasakan  ada  aroma  jahat  dalam  setiap
huruf-hurufnya  dan  susunan  kalimatnya.  Lalu  ia
mendapat SMS dari Bu Merlin: 
"Hari  ini  saya  dicacimaki  Pak  Karman  gara-gara
jawabanmu.  Saya  sungguh  kecewa  dengan  kamu!"
Airmatanya meleleh. 
"Maafkan aku Bu Merlin," lirihnya dengan hati perih. Ia
merasakan  dunia  ini  begitu  sempit.  Dinding-dinding
kamarnya  seakan  hendak  menggenjetnya.  Atap
kamarnya seakan mau rubuh menimpanya. Ia hanya bisa
pasrah kepada-Nya dan memohon kekuatan untuk tetap
kuat dan tegar di jalan-Nya. 

* * * 


Takbir Cinta Zahrana
Dua 

Firasatnya  benar.  Lima  hari  setelah  ia  mengirim
jawaban itu, Bu Merlin datang ke rumahnya. Saat itu ia
masih mengambil  cuti. Bu Merlin datang dengan mimik
serius.  Mimik  yang  ditakuti  oleh  para  bawahannya,
apalagi  para  mahasiswa.  Pembantu  Dekan  I  di
kampusnya  itu berkata, "Zahrana, kamu memang bebas
menentukan pilihanmu. Namun  terus  terang saya  tidak
mengerti apa maumu. Saya tak perlu berdusta padamu,
saya  sangat  kecewa  padamu.  Padahal  saya  telah
berusaha  melakukan  yang  terbaik,  untukmu  dan  juga
untuk  Pak  Karman.  Namun  agaknya  ini  semua
berantakan karena keangkuhanmu." 
"Bu tolong ibu juga mengerti saya. Saya telah berusaha
menata hati dan jiwa untuk menerima Pak Karman. Saya
tidak mau karena saya sudah terlambat menikah, lantas
saya  menikah  untuk  seolah-olah  bahagia.  Saya  tidak
mau  batin  saya  justru menderita.  Karena  saya  benar-
benar  tidak  bisa  menerima  Pak  Karman.  Saya  tidak
mau,  setelah  menikah  sosok  Pak  Karman  justru  jadi
monster yang menghantui saya setiap saat. Saya sama
sekali  tidak  bisa  mencintainya  Bu.  Meskipun  sebutir
zarrah.  Ibu  kan  juga  seorang  perempuan. Saya mohon
ibu bisa memaklumi." Zahrana menjawab panjang  lebar
dengan mengajak bicara dari hati ke hati. 
"Kalau masalahnya sudah cinta. Tak ada orang di muka
bumi  ini  yang  bisa  memaksa.  Meskipun  saya  kecewa
saya  tetap menginginkan  yang  terbaik  untukmu. Sejak
mengenalmu  aku  tahu  kau  orang  baik.  Begini Zahrana,



Takbir Cinta Zahrana
saya  lihat  gelagat  Pak  Karman  berniat  memecatmu
dengan  satu  tuduhan  serius  yang  akan  sangat
mempermalukanmu.  Ia mengisyaratkan  hal  itu  kemarin
setelah membaca suratmu. Sekadar saran dariku  lebih
baik  kau  mundur  dengan  terhormat  daripada  dipecat!
Jika  marah  Pak  Karman  bisa  lupa  bumi  di  mana  ia
berpijak." 
"Apa Bu? Mundur?" Jawab Zahrana dengan nada kaget. 
"Iya  Zahrana.  Sebaiknya  kau mengundurkan  diri  saja.
Itu  saranku  sebagai  orang  yang  sangat  paham  peta
politik di kampus." 
"Tidak Bu. Jika terjadi ketidakadilan, akan saya  lawan
sampai titik darah penghabisan!" 
"Zahrana, kamu ternyata tidak tahu benar peta politik
kampus. Tidak  tahu benar  siapa  Pak Karman. Jika  kau
nekat itu ibarat ulo marani gitik. Ibarat ular mendekat
untuk  dipukul  sampai  mati.  Mundurlah  dulu.
Bertiaraplah  sementara  waktu.  Ini  yang  kulihat  baik
untukmu. Saya berjanji  suatu  saat nanti  jika  saya ada
kemampuan, kamu akan  saya  tarik  lagi ke kampus. Kali
ini  percayalah  padaku.  Saya  tidak  rela  orang  sebaik
kamu  jadi  bulan-bulanan  kesewenang-wenangan  yang
sudah saya cium dari sekarang." 
Zahrana  akhirnya  paham dengan  apa  yang disampaikan
Bu Merlin. Dari nada dan tuturkata yang disampaikan ia
melihat ada kesungguhan dan ketulusan. 
Namun  ia  belum  bisa  mengambil  sikap  dengan  cepat.
Sekali lagi ia harus tenang dan tidak gegabah, "Baiklah
Bu. Saya mengerti. Akan  saya pikirkan matang-matang
saran Ibu. Saya sangat berterima kasih."  


Takbir Cinta Zahrana
"Saya  harap  begitu.  Kalau  begitu  saya  pamit  dulu.
Masih  ada  urusan  yang  harus  saya  kerjakan."  Kata Bu
Merlin. 
* * *
Zahrana  sadar Bu Merlin masih  tetap menyimpan  rasa
sayang  padanya,  meskipun  ia  telah  mengecewakannya.
Bu  Merlin  juga  tetap  setia  pada  prinsip  hidupnya:
Memaksimalkan  manfaat  meminimalisir  konflik.  Jika
masih ada  jalan menghindari konflik, maka  jalan  itulah
yang harus ditempuh. 
Setelah Bu Merlin pergi Zahrana langsung mengendarai
sepeda motornya ke rumah Lina, temannya paling akrab
sejak  di SMP  sampai  Perguruan Tinggi.  la  perlu  orang
yang bisa diajak bicara memutuskan masalahnya. 
"Apa  sejahat  itu  Pak  Karman?"  tanya  Lina  pada
Zahrana. 
"Aku tak  ingin membicarakan kejahatannya. Yang  jelas
apa yang sebaiknya kulakukan setelah mendengar saran
Bu Merlin." 
"Yang paling penting menurutku adalah, apa kaupercaya
dengan  apa  yang  disampaikan  Bu  Merlin?"  Zahrana
menjawab  dengan  memandang  lekat-lekat  teman
karibnya itu, 
"Sampai  saat  ini  saya  belum  pernah  dibohongi  Bu
Merlin. Saya percaya padanya." 
"Kalau begitu masalahnya jelas. Pak Karman  itu sedang
sangat tersinggung dan marah besar karena kamu tolak.
Dia merasa tidak nyaman berada satu atap denganmu di



Takbir Cinta Zahrana
kampus.  Dan  Bu  Merlin  melihat  dia  akan  membuat
perhitungan denganmu." 
"Jadi?" 
"Kalau  aku  jadi  kau,  aku  memilih  mengundurkan  diri
dengan  baik-baik,  daripada  dipecat  dengan  membawa
nama tercemar. Pak Karman tentu  lebih kuat posisinya
daripada kamu. Ingat dia orang nomor satu di Fakultas
tempat kamu mengajar." 
"Aku tahu. Tetapi jika aku keluar, lantas nanti apa yang
harus aku katakan pada ayah dan ibu?" 
"Kau kayak anak kecil aja. Cari pekerjaan baru. Dengan
begitu  kau  bisa  berdalih  degan  seribu  alasan  yang
menyejukkan  mereka.  Bisa  kaukatakan  tidak  kerasan
lagi  di  kampus.  Cari  pengalaman  baru  dan  lain
sebagainya."  Akhirnya  ia  mantap  untuk  mengundurkan
diri. 
"Kau benar Lin. Besok aku akan mengundurkan diri." 
"Nanti kubantu cari pekerjaan yang cocok untukmu." 
"Kau memang sahabatku yang baik Lin." 

***
Pagi  itu  Zahrana  datang  ke  kampus  dengan  membawa
dua  pucuk  surat  pengunduran  dirinya.  Satu  untuk
rektor dan satu untuk dekan. Pak Karman sedang rapat
dengan  rektor.  Itu  kesempatan  baginya  untuk
mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya sesama
dosen banyak yang kaget.  


Takbir Cinta Zahrana
"Kami  tahu  dari  Ibu  Merlin  bahwa  kamu  menolak
lamaran  Pak  Karman. Apa  karena  itu  terus  kamu  juga
harus  mundur  dari  kampus?"  tanya  Pak  Didik,  dosen
mata kuliah  struktur beton  yang meja kerjanya  paling
dekat dengannya. 
"Saya  hanya  ingin  cari  suasana  baru  dan  pengalaman
baru.  Mungkin  saya  akan  mencoba  kerja  di  sebuah
perusahaan."  Jawab  Zahrana  sekenanya  sambil
merapikan berkas-berkasnya. 
"Apa ini benar-benar sudah keputusan final?" 
"Ya. Final." 
"Kami  tak  berhak  menahanmu.  Meskipun  kami  sangat
kehilangan  kamu  jika  kamu  keluar.  Tidak  banyak
pengajar  yang  seahli  kamu.  Jika  nanti  kamu  ingin
kembali  ke  kampus  ini  jangan  segan-segan.  Kami  para
dosen akan men-support-mu." 
"Terima kasih Pak Didik. Maafkan  saya  jika  selama  ini
banyak berbuat salah." 
"Sama-sama." 
Setelah  barang-barangnya  rapi.  la  meletakkan  surat
pengunduran  dirinya  di  meja  kerja  Pak  Karman.  Lalu
mencari mahasiswi yang bisa membantunya mengangkat
barang.  Di  koridor  ia  bertemu  dengan  mahasiswi
berjilbab hitam. 
"Nina!" 
"Ya Bu Rana." 
"Bisa bantu saya sebentar?" 
"Bisa Bu." 



Takbir Cinta Zahrana
"Kalau  begitu  cari  tiga  teman,  dan  segera  ke  ruang
kerja saya. Saya minta bantuannya sedikit." 
"Baik Bu." 
Ia lalu balik ke ruang kerjanya. 
"Pak Didik?" 
"Ya Bu Rana." 
"Saya minta tolong, surat pengunduran  ini disampaikan
ke  Pak  Rektor  begitu  saya  pergi.  Data-data  saya  di
komputer ini nanti diselamatkan ya Pak. Trus sayaminta
tolong dicarikan taksi." 
"O bisa Bu." 
 Lima menit  kemudian  tiga  orang mahasiswi  berjilbab,
dan  dua  orang  mahasiswa  datang.  Kepada  mereka
Zahrana menjelaskan bahwa dirinya akan mengundurkan
diri dari kampus itu. 
"Kenapa  Bu?"  tanya  Nina,  mahasiswinya  yang  aktif  di
Lembaga Pers Kampus. 
"Tidak apa-apa. Hanya ingin cari suasana baru saja." 
"Tidak  karena  tekanan  seseorang  kan  Bu?"  tanya
mahasiswa berbaju biru tua kotak-kotak. 
"Tidak. Ini murni keinginan Ibu. Mana ada yang berani
menekan Ibu tho San." Jawab Zahrana pada mahasiswa
bernama Hasan. 
"Kalau  ibu mundur,  skripsi  saya  bagaimana  Bu?"  tanya
mahasiswa itu lagi. 
"O tenang San. Nanti kamu menghubungi Bu Merlin dan
Pak Didik ya. Mereka akan membantumu, insya Allah."  


Takbir Cinta Zahrana
"Saya  masih  boleh  konsultasi  pada  ibu  tho. Meskipun
ibu tidak di kampus ini lagi?" 
"Boleh San. Kalian semua ibu persilakan dolan ke rumah
ibu kapan saja." Kata Zahrana sambil memandang wajah
mahasiswanya  satu  per  satu.  Zahrana  lalu  meminta
mereka mengangkat barangbarangnya ke luar gedung. 
Tak  lama  taksi  datang.  Zahrana  pun  meninggalkan
kampus  itu  dengan  membawa  seluruh  barang-
barangnya. 
Begitu  selesai  rapat,  Pak  Karman  kembali  ke  ruang
kerjanya.  Keputusannya  sudah  mantap  yaitu  memecat
Zahrana dengan beberapa tuduhan serius, di antaranya:
tidak disiplin. "Perawan tua itu harus diberi pelajaran!" 
Geramnya  dalam  hati.  Ketika  ia  duduk  di  kursinya  ia
menangkap  sepucuk  surat  tergeletak  di  atas  meja
kerjanya.  Ia  baca  surat  itu.  Kemarahannya  seketika
meluap, 
"Kurang ajar!" Ia seperti petinju yang nyaris meng-KO
lawan, tibatiba malah dipukul KO. Ia sama sekali tidak
memperhitungkan  Zahrana  akan  membuat  keputusan
nekat itu. 
Namun  ia  tetap  akan  membuat  perhitungan  dengan
satusatunya  dosen  Fakultas  Teknik  yang  masih  gadis
itu. 
* * *
Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan
pekerjaan  baru.  Dari  seorang  teman  ia  mendapatkan
informasi  bahwa  STM  Al  Fatah  Mranggen,  Demak,
sedang  membutuhkan  seorang  guru  baru  yang



Takbir Cinta Zahrana
profesional untuk mendongkrak prestasi. STM Al Fatah
berada  di  payung  Yayasan  Pesantran  Al  Fatah.
Pesantren  besar  yang  terkenal  di  Mranggen.  Ia
mengajukan lamaran dan hari itu juga ia diterima. 
Kepala  sekolahnya  yang  masih  keturunan  pendiri
Pesantren  Al  Fatah  sangat  senang.  Pengalaman
mengajar  Zahrana  ketika  mengajar  di  FT  universitas
swasta terkemuka di Semarang adalah jaminan kualitas. 
Sejak  hari  itu  Zahrana  mengajar  siswa-siswa  yang
sebagian  besar  adalah  santri.  Ia  berusaha  mendalami
kultur  dan  budaya  santri.  Sebab  sejak  kecil  ia  belum
pernah  menjadi  santri  sama  sekali.  Ia  merasakan
nuansa  yang  berbeda  antara  mengajar  santri  dan
mengajar  mahasiswa.  Ada  tantangan  tersendiri
mengajar  santri  yang  masih  banyak  menganggap  ilmu
eksak  tidak  penting,  yang  menganggap  "ilmu  umum"
lainnya juga tidak penting. 
Dianggap  tidak  penting,  karena  para  santri  berpikiran
bahwa  ilmu  eksak  dan  "ilmu  umum",  kelak  tidak  akan
ditanyakan  di  akhirat.  Bagi  mereka,  yang  terpenting
adalah  "ilmu  agama",  karena  ilmu  itulah  yang  akan
dibawa  hingga  akhirat  nanti.  Pikiran  yang  perlu
diluruskan. 
Dan  Zahrana  tertantang  untuk  meluruskannya.  la
merasa  mengajar  di  lingkungan  pesantren  lebih
menenteramkan.  Entah  kenapa?  Apa  karena  dekat
dengan  banyak  ulama?  Atau  karena  memang  di
pesantren  tempat  ia  mengajar  tidak  ada  manusia
seperti  Pak  Karman  yang  dalam  pandangannya  sangat-
sangat  durjana.  Hari-harinya  ia  lalui  dengan  lebih 


Takbir Cinta Zahrana
tenang dan tenteram. Ilmu S.2-nya ia rasa tidak benar-
benar  hilang  tanpa  guna.  Sebab  ia  juga  diterima
sebagai konsultan sebuah perusahaan properti. Ia juga
masih sering didatangi mahasiswanya. 
Yang  masih  sering  datang  adalah  mahasiswanya  yang
bernama Hasan. Tugas Akhir Hasan memang di bawah
bimbingannya.  Namun  setelah  ia  keluar,  tugas
pembimbingan  diambil  alih  oleh  Bu Merlin.  Hasan  dan
teman-temannya  masih  suka  datang  untuk  konsultasi
dan  meminjam  referensi.  Ia  merasa  senang  dengan
kedatangan mereka. Ia merasa mereka seperti adiknya
sendiri. 
Suatu  siang  ayahnya  bertanya,  mengapa  ia
meninggalkan kampus dan memilih mengajar di STM Al
Fatah yang gajinya jauh lebih kecil. 
Ia menjawab, "Ingin mencari ketenangan dengan dekat
kiai  dan  para  santri." Ayahnya  hanya mendesah  tanda
tidak setuju. 
Namun  ia  kemudian  berusaha menghibur,  "Yang  kedua
Yah,  Zahrana  berharap  mengajar  di  lingkungan
pesantren  jadi  jalan  bagi  Zahrana  menemukan  jodoh
Zahrana.  Bertahun-tahun  di  kampus  jodoh  yang
Zahrana harap tidak juga datang." 
Wajah  ayahnya  itu  sedikit  cerah,  "Semoga harapanmu
terkabul.  Kalau  perlu  kamu  harus  berani minta  tolong
pada  Pak  Kiai.  Siapa  tahu  beliau  bisa  membantu
menemukan jodohmu." 
"Iya Yah. Mohon doanya terus." 



Takbir Cinta Zahrana
"Tanpa kamu minta pun kami terus mendoakanmu siang
dan malam, Anakku." 
"Terima kasih Ayah." 
***
Malam  itu  setelah  memeriksa  tugas-tugas  anak
didiknya  Zahrana  membuka  komputer.  Ia  hendak
berselancar  di  dunia  maya  internet.  Ia  ingin  melihat
apakah ada email yang masuk. Apakah ada berita yang
menarik. Dan  ia mau membuat blog. Siapa tahu dengan
membuat blog ia bisa menemukan jodohnya. 
Baru  saja  menyalakan  komputer  hp-nya  berdering
beberapa  kali.  Ada  tiga  SMS  yang  masuk.
Iamembukanya: 
"Sedang apa perawan tua?" 
"Ternyata jadi perawan tua itu indah." 
"Jangan-jangan  jilbabmu  itu  kedok  untuk  menutupi
daging tuamu yang sudah busuk di kerubung lalat!" 
Zahrana  tersentak  dan  geram.  Sebuah  teror.  Teror
paling  primitif,  dengan  kata-kata  yang  merendahkan
dan  menyakitkan.  la  periksa  nomornya.  Nomor  yang
tidak  ia  kenal.  la  nyaris  membalas  SMS  itu  dengan
kata-kata  yang  sama  pedasnya.  Tapi  ia  urungkan.  Ia
sudah  bisa  menduga  kira-kira  dan  mana  SMS  itu
berasal. Akhirnya  ia memilih diam. Diam  tanpa  pernah
menganggap  SMS  itu  ada.  Ia  merasa  diam  adalah
senjata paling ampuh. 
Menanggapi  omongan  orang  gila  berarti  ikut  jadi  gila.
Menanggapi sikap orang dungu berarti  ikut  jadi dungu.
Internetnya  sudah  konek.  Lima  email  dari 


Takbir Cinta Zahrana
temantemannya  sesama  dosen.  Semuanya
menyayangkan keputusannya meninggalkan kampus. Dan
semuanya mendoakan semoga sukses dengan pilihannya. 
Hp-nya kembali berdering. Dua kali. Ia buka, 
"Apa kabar Perawan Tua?" 
"Kelapa  itu  semakin  tua  semakin  banyak  santannya.
Banggalah jadi perawan tua!" 
Ia  meneteskan  airmata.  Tubuhnya  bergetar.  Hatinya
sakit.  Tapi  ia  harus  menang.  Diam  adalah  senjata
pamungkasnya  untuk  menang.  Ia  tidak  akan  meladeni
kata-kata  yang  tidak mencerminkan datang dari  orang
terdidik  itu.  Akhirnya,  ia  matikan  hp-nya.  Ia  memilih
asyik berselancar di dunia maya. 
Ia buka alamat emailnya yang lain. Ada dua email. Yang
satu dari  sebuah  komunitas milis, memanggilnya  untuk
ikut milis. Dan satunya dari Pak Didik. Ia jadi bertanya
ada  apa  dengan  Pak  Didik.  Baru  kali  ini  Pak  Didik
mengirim email kepadanya. 
la  buka  email  itu:  Subjeknya:  SEBUAH  TAWARAN,
JIKA BERKENAN. Baru dikirim beberapa jam yang lalu. 
la  lalu  membacanya  dengan  sedikit  rasa  penasaran.
Tawaran  apa  yang dimaksud  Pak Didik,  yang  celananya
selalu di atas mata kaki itu? 
Assalamu'alaikum Wr. Wb. 
Semoga  Ibu Zahrana  sukses  dan  berbahagia  selalu. Amin.  Sebelumnya
mohon  maaf  jika  email  saya  ini  mengganggu.  Sebenarnya  sudah  lama
saya  ingin  mengirim  email  ini  tapi  terhambat  karena  beberapa  sebab.
Hari  ini  saya  merasa  hari  yang  tepat  saya  mengirim  email  ini  untuk
memberikan  sebuah  tawaran kepada Ibu Zahrana. Maaf terpaksa  saya
sampaikan lewat email, sebab jika saya sampaikan langsung secara lisan



Takbir Cinta Zahrana
takut terjadi salah paham. Karena bahasa tulisan bisa diedit sementara
bahasa lisan tidak. 
Bu Zahrana, setelah mengetahui lebih detil tentang Ibu. Juga apa yang
Ibu  cari  selama  ini  saya  memberanikan  diri  mengajukan  diri.
Mengajukan diri untuk menjadi suami  ibu. Maaf, to the point saja Bu.
Saya menawarkan  kepada  ibu,  sekali  lagi maaf  jika  dianggap  lancang,
untuk  menjadi  isteri  kedua  saya.  Saya  yakin  isteri  saya  bisa
menerimanya nanti. 
Saya  akan  berusaha  adil  sebagai  suami.  Terus  terang  sebenarnya  yang
saya harapkan adalah seorang isteri yang educated dan cerdas seperti Bu
Zahrana. Bukan  yang  bisanya  cuma  arisan  seperti  isteri  saya  saat  ini.
Tapi karena  sudah punya dua anak,  tidak mungkin  saya meninggalkan
dia. 
Saya  yakin  dengan  kita  membina  rumah  tangga  bersama,  kita  bisa
bersinergi.  Kita  bisa  saling  memberi  dan  memaksimalkan  potensi.  Ini
harapan saya. Semoga ibu berkenan dengan harapan ini. 
Saya kira cukup sekian dulu surat ini. Jika ada salah kata motion maaf.
Tawaran saya ini mohon tidak diartikan sebagai pelecehan. Sama sekali
saya  tidak  bermaksud  seperti  itu.  Saya  bermaksud  kita  saling memberi
manfaat. Itu saja. Akhirul kalam, 
Wassalamu'alaikum Wr. Wb. 
Hormat saya, 
Didik Hamdani, M.T. 

Zahrana  membaca  email  itu  dengan  tubuh  bergetar,
mata berkaca-kaca.  la  tidak  tahu  apa  yang  ia  rasakan.
Yang  jelas  bukan  bahagia.  Ia  merasa  betapa  tidak
mudah  menjadi  gadis  yang  terlambat  menikah.  Dan
betapa susah menjadi wanita. 
Jika  Pak  Didik  itu  tidak  memiliki  isteri,  katakanlah
duda  sekalipun,  tawaran  itu  mungkin  akan  sedikit
menjadi  jendela  harapan  di  hatinya.  Tapi  ia  harus
dijadikan yang kedua. Ia tidak tega. Ia tidak tega pada 


Takbir Cinta Zahrana
perasaan yang akan dialami isteri Pak Didik. Dan ia juga
tidak  tega  pada  perasaan  kedua  orangtuanya. Mereka
semua  tidak  siap  untuk  itu.  Bahkan  jika mau  jujur,  ia
sendiri  "belum  siap",  atau  lebih  tegasnya  "tidak  siap"
menjadi  isteri  kedua.  Sakit  rasanya.  Bagaimanapun  ia
adalah  wanita  biasa.  Ia  adalah  perempuan  Jawa  pada
umumnya,  yang  benar-benar  "tidak  siap",  atau  lebih
tepatnya "tidak mau" dijadikan istri kedua. Atau "tidak
mau" dimadu. 
la membayangkan,  alangkah  tersiksanya, misalnya,  bila
ia menerima  tawaran  Pak Didik  itu,  ternyata  isterinya
tidak  setuju.  Isterinya  itu  lantas  melabraknya  dan
mengatakan kepadanya, 
"Hai  perawan  tua  tengik,  memang  di  dunia  ini  sudah
tidak  ada  lelaki  sehingga  kamu  tega  merampas  suami
orang!  Dasar  perawan  tua!  Suka  merusak  pager  ayu
orang saja!" 
Ia tidak tahu akan menjawab apa. 
Maka  begitu  ia  selesai  membaca  email  itu,  yang  ia
lakukan  adalah  men-delete-nya  tanpa  me-reply  sama
sekali.  Ia  menganggap  email  itu  tak  pernah  ada.
Matanya masih berkaca-kaca. 
* * *



Takbir Cinta Zahrana
Tiga 

Bumi  terus  berputar  pada  porosnya.  Detik  berkumpul
menjadi  menit.  Menit  berkumpul  menjadi  jam.  Jam
berkumpul  menjadi  hari.  Minggu  berkumpul  menjadi
bulan. Ternyata sudah enam bulan Zahrana mengajar di
STM. Namun masalah utamanya belum juga selesai. 
la  belum  juga  mendapatkan  jodohnya.  Setelah
mendapat tawaran dari Pak Didik, sudah ada dua orang
yang maju. 
Tapi entah kenapa  ia tidak sreg. Hatinya belum cocok.
Yang  pertama  dibawa  oleh  teman  ayahnya.  Seorang
satpam  di  sebuah  Bank  BUMN.  Ia  tidak  lagi  melihat
status. Satpam  atau  apapun  tak  jadi masalah.  la  tidak
sreg  karena  satpam  itu  tidak bisa membaca Al-Quran
sama  sekali. Sekali  lagi,  tidak bisa membaca Al-Quran
sama  sekali. Shalat  juga  dengan  jujur  diakuinya  tidak
pernah  lengkap.  la hanya membayangkan  akan  jadi  apa
anak-anaknya  kelak  jika  ayahnya  sama  sekali  tidak
mengenal Al-Quran. Dalam bahasa dia, buta Al-Quran. 
Dan  alangkah  beratnya  mengajari  ngaji  suaminya  dari
nol.  Juga  mendisiplinkan  shalatnya  dari  nol.  Akhirnya
tanpa berpikir panjang  ia  lebih memilih menunggu yang
lain. 
Orang yang kedua, yang maju melamarnya dibawa oleh
temannya  sendiri,  Wati.  Seorang  pemilik  bengkel
sepeda motor. Duda beranak tiga. Status duda dengan
berapa anak juga sebenarnya tidak masalah baginya. Ia
tidak mungkin  cocok  dengan  duda  itu,  karena  ia  telah
kawin cerai sebanyak tiga kali dalam waktu tiga tahun.  


Takbir Cinta Zahrana
Tiga  anak  itu  adalah  hasil  kawin  cerainya  dengan  tiga
perempuan  berbeda.  Ia  tidak  mau  jadi  korban  yang
keempat. Meskipun Wati mengatakan  bahwa  lelaki  itu
telah  insyaf.  Ia  ingin menikahi Zahrana  sebagai  isteri
yang  terakhir.  Karena  ia  tidak  juga bisa menenangkan
batinya. Akhirnya ia tolak juga pemilik bengkel itu. 
Datangnya  lamaran  silih  berganti  yang  semuanya
ditolak  oleh  Zahrana  itu  membuat  ibunya  sempat
marah. 
"Kamu itu masih tinggi hati Rana! Perempuan tinggi hati
tak akan mendapatkan jodohnya!" 
Ia  menangis  dimarahi  ibunya  begitu.  Ia  merasa
penolakannya  itu  ada  landasan  logika  dan  syariatnya
yang  kuat.  Ia menangis di  pangkuan  ibunya, dan minta
maaf  jika  belum  bisa  menjadi  anak  yang
membahagiakan orangtua. Ibunya, akhirnya  luluh dalam
tangis. Ayahnya yang melihat hal itu juga menangis. 
Sang  ayah  berkata  sambil  terisak,  "Saat  pindah  ke
STM  Al  Fatah  kamu  bilang  siapa  tahu  jodohmu  di
pesantren.  Coba  datanglah  ke  Pak  Kiai.  Coba  kamu
minta  pada  Pak  Kiai  untuk  membantu  mencarikan.
Mungkin kamu akan ditemukan dengan santrinya!" 
"Baiklah  ayah,  tak  kurang  ikhtiar  saya.  Untuk
menemukan yang saya idamkan baiklah saya akan sowan
ke  tempat  Bu  Nyai  dan  Pak  Kiai  secepatnya."  Jawab
Zahrana sambil mengusap airmatanya. 
Esoknya  ia  nekat  mengajak  Lina,  menghadap  Bu  Nyai
dan Pak Kiai. Ia mengajak Lina  sahabatnya  itu, karena
Lina  dulu  pernah  nyatri  di  Pesantren ARIS  Kaliwungu
selama  satu  bulan  saja,  yaitu  selama  bulan  Ramadhan.



Takbir Cinta Zahrana
Lina  tentu  lebih  tahu  berdiplomasi  dengan  Bu  Nyai
daripada dirinya yang sama sekali tidak pernah nyantri. 
Kedatangannya  diterima  Bu  Nyai  dengan  wajah
menyejukkan.  Bu  Nyai  Sa'adah  Al  Hafidhah  adalah
isteri K.H. Amir Arselan, pengasuh utama Pesantren Al
Fatah. 
Bu Nyai ini umurnya lima puluhan tahun. Dulu menghafal
Al-Quran  di  Kudus.  Dan  di  tangannya  kini  telah  lahir
ratusan  santriwati  yang  hafal  Al-Quran.  Saat  itu
kebetulan Pak Kiai sedang pergi ke Rembang. Hanya Bu
Nyai yang menemui. 
'Apa  yang  bisa  Ummi  bantu,  Anakku?  Oh  ya  siapa
namamu, Anakku?" tanya Bu Nyai. 
"Nama  saya  Rana,  Ummi.  Lengkapnya  Dewi  Zahrana.
Kedatangan  saya  ke  sini  pertama  untuk  silaturrahmi.
Kedua  untuk  mohon  tambahan  doa  dari  Ummi.
Kebetulan  saya  ikut mengajar  di STM Al  Fatah.  Baru
enam  bulan  ini Ummi."  Terang Zahrana  dengan  kepala
menunduk. 
"O begitu. Ya. Jadi kau guru baru di STM Al Fatah?" 
"Iya, Ummi." 
"Dulu nyantri di mana?" 
Belum  sempat  Zahrana  menjawab,  Lina  memotong,
"Zahrana  ini  belum  pernah  nyantri,  Ummi.  Tapi  dia
hariannya seperti santri. Zahrana  ini dari SMA. Terus
kuliah S.l di UGM dan S.2 di ITB Bandung, Ummi." 
"Kalau begitu kamu hebat ya Zahrana. Bisa S.2 di ITB.
Jurusan apa?"  


Takbir Cinta Zahrana
"Teknik Sipil, Ummi." 
Bu Nyai hanya manggut-manggut. 
Lina  tahu bahwa Zahrana  tidak berani mengungkapkan
maksud sebenarnya. Maka dengan tanpa diminta  ia  lalu
menjelaskan  dengan  sehalus  mungkin  maksud  utama
kedatangan Zahrana ke pesantren. Bu 
Nyai menjawab, "Saya yakin tidak mudah mencari yang
selevel  denganmu,  Anakku.  Jujur  saja  kalau  misalnya
ada yang selesai S.2 umurnya sama denganmu dia akan
memilih  yang  lebih  muda  darimu.  Lelaki  itu  umumnya
punya  ego,  tidak mau  isterinya  lebih  pinter  dan  lebih
tua darinya. Tapi ya tidak semua  lelaki  lho. Sekali  lagi
tidak  mudah  mencarikan  jodoh  yang  pendidikannya
harus tinggi seperti kamu juga saleh. Kalau boleh tahu,
kalau  strata  pendidikannya  tidak  setinggi  kamu
bagaimana?" 
Zahrana mengerti maksud Bu Nyai. Segera ia 
menjawab,  "Saat  ini  status,  strata,  kedudukan  sosial,
pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan
saya  Bu  Nyai.  Saya  hanya  ingin  suami  yang  baik
agamanya.  Baik  imannya  dan  bisa  jadi  teladan  untuk
anak-anak kelak. Itu saja." 
"Oo,  baiklah  kalau  begitu.  Besok  kautelpon  aku  ya.
Nanti  malam  aku  akan  rembugan  dengan  Pak  Kiai.
Semoga ada pandangan." 
"Baik Bu Nyai." 
Keduanya  lalu  pamitan  setelah  dipaksa  Bu  Nyai
menghabiskan minuman yang ada di gelas. 



Takbir Cinta Zahrana
"Harus  dihabiskan.  Kalau  tidak  habis  itu  namanya
mubazir.  Dan  orang  yang  suka  mubazir  itu  teman
akrabnya setan." Kata Bu Nyai serius. 
Rana  dan  Lina  hanya  bisa  manut  saja. Mereka  pulang
dengan  hati  diliputi  rasa  gembira.  Bu  Nyai  Dah,  atau
Ummi Dah, begitu  para  santri memanggilnya,  ternyata
sangat  halus  tuturbahasanya,  begitu  perhatian  dan
begitu  menyenangkan. Wajar  jika  banyak  santri  yang
mencintainya. 
Pak Kiai pasti bahagia punya isteri sebaik dia. 
* * *

Zahrana baru  saja masuk  kelas,  ketika  kepala  sekolah
memanggilnya. Ia bertanya-tanya dalam hati, 
"Ada  apa  sepagi  ini  kepala  sekolah  memanggilnya."  Ia
bergegas ke ruang kepala sekolah dengan kepala berisi
tanda tanya. 
"Bu  Rana,  saya  baru  saja  ditelpon  sama  Bu Nyai Dah.
Beliau  minta  kau  menghadap  beliau  sekarang  juga."
Begitu  kata  kepala  sekolah  begitu  ia  sampai  di  ruang
kerja  beliau.  Zahrana  langsung  tahu  kenapa  Bu  Nyai
memanggilnya. 
Ia  langsung bergegas ke ndalem Bu Nyai Dah. Bu Nyai
Dah  ternyata  sudah menunggunya  sambil membaca Al-
Quran.  Begitu  Zahrana  sampai  beliau  menghentikan
bacaannya. 
"Duduklah, Anakku." 
Ia duduk dengan kepala menunduk.  


Takbir Cinta Zahrana
"Begini,  Anakku.  Pak  Kiai  punya  seorang  santri  yang
sudah tiga tahun ini meninggalkan pesantren. Dia santri
yang dulu sangat diandalkan Pak Kiai. Namanya Rahmad.
Pendidikannya  tidak  tinggi.  Ia  hanya  tamat Madrasah
Aliyah. Tidak kuliah. Karena setelah itu dia mengabdi di
pesantren  ini.  Baik  akhlak  dan  ibadahnya.  Tanggung
jawabnya  bisa  diandalkan.  Ia  dari  keluarga  pas-pasan.
Anak  kedua  dari  tujuh  bersaudara.  Pekerjaannya
sekarang  jualan kerupuk keliling. Dia duda  tanpa  anak.
Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam
berdarah.  Itulah  informasi  yang  bisa  aku  berikan.
Musyawarahkanlah  dengan  kedua  orangtuamu  dan
kerjakanlah  shalat  Istikharah.  Jika  kamu  ingin  dan
tertarik,  beritahukan  Ummi.  Nanti  kita  carikan  jalan
terbaik." 
"Baiklah,  Ummi.  Terima  kasih.  Saya  akan  musyawarah
dan Istikharah dulu. Saya pamit dulu Ummi, karena tadi
kelas saya tinggalkan." Jawab Zahrana. 
"Ya. Semoga barakah, Anakku!" 
Zahrana  berjalan  ke  kelas  dengan  telinga  yang
mendengungkan apa yang disampaikan Bu Nyai: 
"...Ia  dari  keluarga  pas-pasan.  Anak  kedua  dari  tujuh
bersaudara.  Pekerjaannya  sekarang  jualan  kerupuk
keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu
tahun yang lalu karena demam berdarah...!" 
Sambil  berjalan  ia  menirukan  ucapan  Bu  Nyai,
"Pekerjaannya  sekarang  jualan  kerupuk  keliling.  Dia
duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun!" 



Takbir Cinta Zahrana
"Hmm  penjual  kerupuk  keliling.  Apakah  memang
takdirku  jadi  isteri  seorang  penjual kerupuk keliling?"
gumamnya sendiri. 
Ada dialog yang cukup serius dalam dirinya. 
"Tapi  meskipun  penjual  kerupuk  keliling.  Ia  adalah
orang  yang  baik  akhlak  dan  ibadahnya.  Tanggung
jawabnya bisa diandalkan. Toh aku sudah bilang pada Bu
Nyai  bahwa  status,  strata,  kedudukan  sosial,
pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan
lagi.  Yang  aku  inginkan  adalah  suami  yang  baik
agamanya.  Baik  imannya  dan  bisa  jadi  teladan  untuk
anak-anak  kelak.  Apakah  aku  harus  mempersoalkan
pekerjaannya yang cuma penjual kerupuk keliling?" 
Sampai  di  kelas  ia  tidak  konsentrasi  mengajar.
Akhirnya ia memberi pekerjaan kepada para siswa. Jam
ketiga  ia  ijin  pulang  ke  rumah  dengan  alasan  ada
kepentingan  yang  sangat  penting  berkaitan  dengan
permintaan Bu Nyai. Jika alasannya Bu Nyai, tidak ada
yang berani membantah. 
Sampai  di  rumah  ia  mengajak  musyawarah  ayah  dan
ibunya. Keduanya mendorongnya untuk maju. 
"Kemuliaan  hidup  seseorang  itu  tidak  karena
pendidikannya  atau  pekerjaannya.  Seseorang  jika
dimuliakan oleh Allah akan juga mulia di mata manusia." 
Demikian kata ibunya. 
Ia mulai mantap. Namun merasa masih belum cukup. Ia
lalu menelpon Lina. Dari jauh Lina menjawab, 
"Dia kan lulusan aliyah. Nanti jika kalian sudah menikah
dan hidup mapan. Minta saja dia kuliah. Dengan begitu 


Takbir Cinta Zahrana
dia akan  selesai S.l dan  jarak pendidikan  tidak  terlalu
jauh.  Dan  sebenarnya  dengan  dia  mengabdi  di
Pesantren  bertahun-tahun  dia  telah  mendapatkan
pelajaran hidup  yang  lebih matang dari mata kuliah di
Program Pascasarjana sekalipun. Sudah mantaplah Ran.
Pak Kiai dan Bu Nyai pasti berusaha mengarahkan yang
terbaik." 
Mantap  sudah  hatinya.  Niatnya  sudah  bulat.  Untuk
semakin  memantapkan  ia  pun  Istikharah.  Setelah
Istikharah  rasa  mantapnya  semakin  besar.  Hari  itu
juga  ia  menelpon  Bu  Nyai  dan  menjelaskan
kemantapannya. 
Bu Nyai menjawab, 
"Baiklah coba jelaskan alamat rumahmu!" 
"Saya  tinggal  di  Perumahan  Klipang  Asri.  Jalan
Madukara B-15." 
"Besok satu hari penuh  jangan ke mana-mana. Pak Kiai
akan meminta si Rahmad itu berjualan ke perumahan di
mana kau tinggal. Kau belilah kerupuk darinya, dan kau
boleh bertanya apa saja padanya. Biasa saja. Dia tidak
tahu apa-apa masalah  ini. Dengan begitu kau bisa tahu
dengan  jelas  calon  suamimu  itu.  Jika  kau  masih
jugamantap, maka bisa diteruskan. Jika tidak ya tidak
apaapa." 
"Baik Bu Nyai." Jawabnya. 
Dari situ ia tahu betapa demokratisnya Bu Nyai. Betapa
bijaksananya  Bu  Nyai.  Betapa  Bu  Nyai  memang  tidak
mau memaksa. Ia kemudian jadi takut. Janganjangan 



Takbir Cinta Zahrana
ia  yang  nanti  mau,  tapi  si  penjual  kerupuk  itu  justru
yang  tidak  mau  dengan  alasan  minder  dan  lain
sebagainya. Ia mendesah nafas panjang. Biarlah waktu
yang menjawabnya, desahnya. 

* * *

Hari  berikutnya  Zahrana  benar-benar  tidak  ke
manamana  sejak  pagi.  Hari  itu  ia  ijin  tidak  mengajar
demi  mengejar  takdir.  Ia  menunggu  di  ruang  tamu.
Terkadang  juga  di beranda. Sesekali  ke  jalan.  Penjual
kerupuk itutidak juga datang. 
Jam sebelas siang seorang penjual kerupuk datang. 
"Puk Kerupuk! Puk Kerupuk!" Suara penjual kerupuk  itu
membahana.  Hari  Zahrana  sedikit  lega.  Ia  menunggu.
Suara  itu  semakin  mendekat.  Semakin  mendekat.  Ia
keluar  ke  beranda.  Begitu  penjual  kerupuk  sampai  di
depannya, ia berteriak, 
"Kerupuk Pak!" 
Penjual  kerupuk  itu  menghentikan  langkah.  Tempat
kerupuk  yang  dipikulnya  ia  turunkan.  Zahrana
terperanjat.  Sudah  tua.  Ia  memperkirakan  umurnya
mendekati  lima  puluh  tahun.  Kulitnya  hitam  legam
tersengat matahari. la hampir menangis. 
"Iya Bu, beli berapa?" 
"Tiga ribu Pak." 
"Baik Bu."  


Takbir Cinta Zahrana
Penjual  kerupuk  itu  mengambil  kerupuk  dan
memasukkan ke dalam plastik lalu menyerahkan kepada
Zahrana. Zahrana mengeluarkan uang dua puluh ribu. 
"Ada yang kecilBu?" 
"Aduh tak ada Pak." 
"Aduh gimana ya Bu. Saya tak ada kembalian. Udah ibu
bawa  dulu  saja  kerupuknya.  Kapan-kapan  kalau  saya
lewat ibu bayar." 
"E jangan Pak. Udah bapak bawa saja. Itu sedekah saya
untuk Bapak." 
"Baik  Bu  kalau  begitu.  Matur  nuwun  ya  Bu.  Semoga
keinginan ibu dikabulkan Allah." 
"Amin."  Dalam  hati  Zahrana  berdoa  ingin  suami  yang
saleh dan pantas bagi dirinya. 
Begitu  penjual  kerupuk  itu  pergi,  Zahrana  langsung
menghubungi  Lina  sambil  menangis.  la  menceritakan
penjual kerupuk yang baru ditemuinya. 
"Apakah  dalam  pandangan  Pak  Kiai  dan  Bu  Nyai  saya
memang  pantasnya  untuk  penjual  kerupuk  yang  tua
itu?" Nada Zahrana terdengar sedih. 
"Tenanglah  Rana.  Kau  sudah  tanya  sama  Pak  Tua  itu
siapa namanya?" 
"Tidak terpikir Lin. Sama sekali tidak terpikir bertanya
namanya tadi. Aku sudah shock duluan tahu penjual itu
sudah tua. Tidak seperti yang aku bayangkan." 
"Ya  sudah.  Kalau  begitu  kau  sabar  saja.  Yang  jelas,
tidak  mungkin  Pak  Kiai  dan  Bu  Nyai  tega
menjerumuskanmu. 



Takbir Cinta Zahrana
Ini  kan masih  siang.  Kau  tunggu  saja.  Aku  yakin  yang
dikirim  Pak  Kiai  pasti  baik.  Pokoknya  kamu  jangan  ke
mana-mana ya. Tunggu sampai malam datang. Mau dapat
suami  saleh  harus  sabar  ya."  Lina  berusaha
menenangkan dan menguatkan. 
"Terima kasih Lin. Semoga yang kaukatakan benar." 
Zahrana  kembali  menunggu.  Nyaris  satu  hari  penuh
Zahrana  menunggu  dengan  perasaan  sedih,  jengkel,
marah  juga  berharap.  Belum  pernah  ia  sepegal  itu.  la
yang  dulu  pernah  mendapatkan  predikat  mahasiswa
teladan UGM kini menunggu datangnya seorang penjual
kerupuk keliling. Begitu pentingnya penjual kerupuk itu.
Tapi  inilah  takdir hidupnya. Ia merasa  ia harus  sabar.
Sampai senja tiba, tukang kerupuk selain yang pertama
belum  datang.  Ia  menangis.  Jika  benar,  yang  dikirim
Pak Kiai  adalah  Pak Tua  tadi, maka  ia merasa menjadi
perempuan  paling menderita  di  dunia. Sampai  Pak  Kiai
dan  Bu  Nyai  yang  dia  anggap  orang  yang  sangat  arif
pun,  berpendapat  bahwa  ia  pantasnya  dengan  lelaki
berkepala  lima.  Sudah  sedemikian  tidak  berharganya
dirinya. 
Ia  masuk  rumah.  Lima  belas  menit  lagi  azan Maghrib
berkumandang.  Ia  cemas  dan  galau.  Tak  ada  penjual
kerupuk yang datang kecuali Pak Tua  tadi. Ia bingung.
Ia  lemas. Ia keluar  lagi. Berharap ada penjual kerupuk
lain  yang  datang.  Penjual  kerupuk  seperti  yang  ia
bayangkan.  Ia  duduk  di  kursi  beranda.  Airmatanya
bercucuran, 
"Ya  Ilahi  jika  aku  punya  dosa,  ampunilah  dosaku.
Cukupkanlah ujian-Mu. Aku mohon mudahkanlah jalanku 


Takbir Cinta Zahrana
menyempurnakan  separo  agamaku  sesuai  syariat-Mu.
Mudahkan diriku menyempurnakan ibadah kepada-Mu." 
Ia lalu bangkit masuk rumah lagi. Tak ada siapasiapa di
rumah.  Ayah  dan  ibunya  sedang  ke  rumah  sepupunya
yang memiliki hajat sunatan di Pucang Gading. 
Baru saja masuk, ia mendengar suara nyaring, 
"Kerupuk-kerupuk! Kerupuk Paak! Kerupuk Buu!" 
Ia  terperanjat  dan  bergegas  keluar.  Suaranya  lebih
tegas  dan  lantang.  Ia  lari.  Penjual  kerupuk  itu  telah
melewati  rumahnya.  Ia  melongok  dari  pagar.  Penjual
kerupuk itu hanya tampak punggungnya. Ia naik sepeda
dan  mengayuh  sepedanya  dengan  cukup  kencang.
Zahrana  jadi  penasaran.  Dengan  cepat  ia  nyalakan
sepeda motornya yang berdiri di beranda. Lalu melesat
mengejar. Tak  perlu waktu  lama  agar  penjual  kerupuk
itu  terkejar.  Apa  susahnya  bagi  sepeda  motor  untuk
mengejar sepeda. Ketika sudah dekat ia berteriak, 
"Kerupuk, Mas!" 
Penjual  kerupuk  itu  menepi  menghentikan  sepedanya.
Ia  melakukan  hal  yang  sama.  Penjual  kerupuk  itu
membuka  topi  lebarnya  dan mengipas-ngipaskannya  ke
tubuhnya. Semarang memang panas, meskipun haritelah
senja. Zahrana  terperanjat. Masih muda  dan  ganteng.
Keringat yang mengalir, lengan yang kekar 
terbakar  matahari  menambah  pesona  tersendiri.
Sesaat lamanya ia memandangi penjual kerupuk itu. 
"Iya Bu, beli berapa?" 
Ia tersadar. 



Takbir Cinta Zahrana
"E...lima ribu." 
Penjual kerupuk  itu mengambil plastik hitam besar dan
memenuhinya dengan kerupuk. 
"Ini Bu" 
Ia mengambil kerupuk dan mengulurkan uang lima puluh
ribu.  Penjual  kerupuk  itu  menerima  uang  itu  dan
menghitung uang kembalinya. 
"Ini kembalinya Bu. Empat puluh lima ribu rupiah." 
Zahrana menerima dengan tangan kanannya. Sementara
tangan  kirinya  memegang  kantong  plastik  berisi
kerupuk. Penjual bersiap melanjutkan perjalanan. 
"E, Sebentar, Mas." Zahrana menghentikan. 
"Ya Bu, ada apa? Apa uang kembalinya kurang?" 
"Tidak kok Mas. Mau tanya, sudah  lama jualan kerupuk
ya Mas? Kok kayaknya baru ke daerah ini." 
"Iya  Bu.  Sudah  lama.  Saya  memang  baru  kali  ini  ke
daerah  ini.  Biasanya  saya  beroperasi  di  daerah
Mranggen,  Plamongan  Indah,  Pucang  Gading  dan
Penggaron saja," 
"O. Ini cari langganan baru ya?" 
"Bisa ya, bisa tidak." 
"Kok begitu." 
"Biasanya  dagangan  saya  sudah  laku  di  timur,  tidak
perlu sampai ke kampung  ini. Saya  jualan ke sini hanya
karena sendiko dawuh saja sama Pak Kiai. Pak Kiai saya
itu aneh, tiba-tiba saya diminta jualan di daerah ini, di 


Takbir Cinta Zahrana
perumahan ini. Dan anehnya Pak Kiai bilang hari ini saja.
Besok-besok terserah." 
Jantung  Zahrana  berdegup  kencang.  Azan  Maghrib
mengalun. 
"Boleh tahu, siapa nama Mas?" 
"Nama  saya Rahmad Bu. Sudah  ya Bu  saya  jalan  dulu.
Sudah Maghrib, saya harus cari masjid." 
Penjual kerupuk itu mengayuh sepedanya ke arah suara
azan  berkumandang. Zahrana memandang  punggungnya
sampai hilang di kejauhan. 
"Diakah  jodoh  yang  ditakdirkan  Allah  untukku?"
tanyanya dalam hari. 
Ia  lalu  kembali  ke  rumahnya.  Sampai  di  rumah  ayah
ibunya sudah ad a di rumah. 
"Dari mana Rana?  Ini  rumah ditinggal  pergi  tapi  pintu
terbuka  tak  dikunci?  Jangan  sembrono  kamu!"  tegur
ibunya serius. 
"Dari  mengejar  penjual  kerupuk  Bu.  Wong  cuma
sebentar kok." Jawab Zahrana tenang. 
"Penjual  kerupuk  yang  dikirim  Bu  Nyai  itu?"  tanya
ibunya dengan mata berbinar. 
"Iya Bu." 
"Bagaimana orangnya? Ganteng? Kau cocok?" 
"Ah ibu itu lho semangat banget. Yang jelas orangnya 
baik. Yang lain nanti kita musyawarahkan!" 
"Iya. Iya. Baik."



Takbir Cinta Zahrana
Zahrana  lalu  masuk  kamarnya  untuk  siap-siap  shalat
Maghrib.  Sebelum  ia  mengambil  air  wudhu  hpnya
berdering. Sebuah SMS masuk. Ia buka, 
"Ass  wr  wb.  Bu  ini  Hasan.  Alhmdulillah  tadi  sy  sdh
wisuda.  Dan  alhmdulillah  sy  dinobatkan  sbg  mhsw
terbaik. Ini jg berkat doa dan bimbingan Ibu. Trm ksh
sdh mmnjami referensi dll. Mhn doanya. Wassalam." 
Ia tersenyum. Ia bahagia membaca SMS itu. Bagaimana
tidak  bahagia  jika  ada  seorang  murid  yang  berhasil
tidak lupa pada gurunya. Ia teringat saat dulu diwisuda
di  UGM  dan  menjadi  lulusan  terbaik  di  Fakultasnya.
Saat  itu  ia  sangat  bahagia. Dan  itu  pula  yang  saat  ini
sedang dirasakan mahasiswanya, Hasan. 
Ia  teringat  Nina.  Bagaimana  dengan  Nina?  Nina  tak
kalah  hebatnya  dengan Hasan. Tiba-tiba  ia  tersenyum
simpul.  Hasan  dan  Nina  itu  cocok.  Kalau  mereka
menikah  itu  pas.  Hasan  ganteng,  Nina  cantik.  Sama-
sama aktivis. Sama-sama cerdas dan bisa diandalkan. 

* * *

Setelah  Zahrana  melakukan  kroscek  pada  Bu  Nyai,
memang  penjual  kerupuk  yang masih muda  itulah  yang
dimaksud Pak Kiai. Umurnya 29 tahun. Jadi  lebih muda
empat  tahun  dari  Zahrana.  Setelah  memikir  dan
menimbang tiga hari lamanya Zahrana merasa cocok. 
Ayah  dan  ibu Zahrana  pun  cocok.  Barulah  setelah  itu
Pak  Kiai  dan  Bu  Nyai  mempertemukan  dua  keluarga.
Mulanya  si  Rahmad  merasa  minder.  Tapi  Pak  Kiai 


Takbir Cinta Zahrana
berhasil meyakinkan Rahmad untuk  tidak minder. Pada
Rahmad Pak Kiai berkata, 
"Zahrana  ini,  meskipun  berpendidikan  tinggi  tapi  ia
rendah  hati.  Yang  jadi  pertimbangan  Zahrana  dalam
mencari suami bukan materi, status, strata, kedudukan
sosial,  pendidikan  dan  lain  sebagainya.  Yang  jadi
pertimbangan Zahrana adalah agama,  iman dan akhlak.
Insya Allah, ia gadis salehah yang mampu menghormati
suaminya. Jadi kamu jangan minder!" 
Akhirnya Rahmad  juga menyatakan  cocok. Jadilah dua
keluarga  itu cocok. Saat musyawarah dua keluarga  itu,
Zahrana  mengutarakan  keinginannya  untuk
mempercepat  pernikahannya.  Usul  Zahrana  diterima
dengan penuh semangat oleh dua keluarga. 
"Semakin  cepat  semakin  baik.  Insya  Allah  semakin
cepat  juga  semakin  barakah!"  Demikian  Pak  Kiai
berkomentar. 
Dan  ditetapkanlah  hari  H  pernikahan  Rahmad  dengan
Zahrana  dua  minggu  setelah  pertemuan  itu.  Dua
keluarga  itu  langsung  didera  kesibukan  menyiapkan
pesta pernikahan itu. Karena Zahrana anak tunggal, Pak
Munajat ingin semua teman lama dan saudara diundang. 
Dengan  kerja  keras,  dalam  waktu  relatif  singkat
undangan  pernikahan  tersebar.  Zahrana  mengundang
semua  temannya.  Yang  tidak  bisa  dikirimi  undangan
diberitahu  lewat email dan SMS  . Ia  juga mengundang
mahasiswanya  yang  ia  kenal.  Mereka  ia  undang  lewat
SMS. Para mahasiswanya mengirim balasan dengan nada
sangat gembira dan memastikan mereka datang. 



Takbir Cinta Zahrana
Namun dua  orang mahasiswa yang  ia harapkan datang,
yaitu Nina dan Hasan malah tidak bisa datang. 
Nina mengirim balasan: 
"Trm  ksh  Bu  atas  undangannya.  Smg  prnikhnnya
barakah. Maaf sy tdak bisa datang sbb pada hari yang
sama  saya  jg  akan  melangsungkn  akad  nikah  di  Jkt.
Saling mendoakan ya Bu. Nina." 
Ia  bahagia,  Nina  langsung  menikah  begitu  selesai  S.l.
Tapi sedikit kecewa karena Nina tidak menikah dengan
Hasan.  Seperti  yang  ia  idealkan.  Ia  langsung  sadar,
ideal di mata manusia itu berbeda dengan ideal di mata
Allah Swt. 
Sementara Hasan mengirim balasan, 
"Smg prnkhan Ibu pnh barakah. Maaf sy tdk bs datang
Bu.  Sbb  hari  itu  saya  hams  mengurus  beasiswa  S.2
USM (Universiti Sains Malaysia). Motion doanya." 
Kabar  yang  membuatnya  bahagia.  Mahasiswa  penuh
dedikasi  seperti  Hasan  memang  pantas  mendapatkan
beasiswa.  Dalam  hati  ia  berdoa  semoga  semua
mahasiswanya berhasil dan sukses. 
Tak  ketinggalan  ia  juga  mengundang  teman  temannya
sesama  dosen  waktu  mengajar  di  kampus  Fakultas
Teknik. Semua ia undang termasuk Bu Merlin. 
Hanya  Pak  Karman  yang  tidak.  Ia  tak  ingin  hari
bahagianya rusak dengan melihat bandot tua yang tidak
ia suka itu. 
Namun mau tidak mau Pak Karman tahu juga kabar itu.
Dan  ia  juga  tahu  bahwa  hanya  ia  seorang  di  kampus 


Takbir Cinta Zahrana
yang  tidak  diundang.  Hal  itu  membuatnya  marah  dan
geram. 
"Jangan sebut aku  ini Karman  jika tidak bisa memberi
pelajaran pahit pada perempuan tengik itu!" 
Geramnya sambil memukul meja di ruang kerjanya. 



Takbir Cinta Zahrana
Empat 

Hari pernikahan Zahrana semakin dekat. Zahrana telah
memilih  gaun  pengantinnya.  Gaun  pengantin  Muslimah
hijau muda yang sangat anggun.  la memang suka warna
hijau  muda.  Gaun  pengantin  itu  ia  beli  dari  butik
Muslimah terkemuka di Solo. 
Sore  itu,  ia  mencoba  gaun  itu  di  kamarnya.  Sambil
memandang wajahnya ke cermin ia berkata, 
"Akhirnya aku akan jadi pengantin juga. Aku akan punya
suami. Aku akan hidup membina rumah tangga layaknya
yang lain." 
Hatinya  berbunga-bunga.  la  bahagia.  Jika  boleh
meminta  ia  masih  ingin  meminta  akad  nikah  dan
walimatul  ursy-nya.  dipercepat  lagi  saja.  Ia  ingin
segera  mengatakan  pada  dunia  bahwa  ia  juga  berhak
hidup  wajar  seperti  yang  lainnya.  Hidup  berkeluarga.
Memiliki suami yang baik dan setia. Dan kelak memiliki
anakanak yang menjadi penyejuk jiwa. 
Tiba-tiba hp-nya. berdering. Satu SMS masuk, 
"Apa  kabar  perawan  tua?  Jika  kau  telah  beli  gaun
pengantin. Sebaiknya kaukembalikan saja. Kau tak akan
memakainya di hari pernikahan yang telah kautentukan.
Kau  masih  akan  lama  menyandang  statusmu  sebagai
perawan tua. Bukankah jadi perawan tua itu indah. Tiap
saat  dilamar  banyak  orang  dan  bisa  dengan
semenamena  menolaknya.  Kenapa  kau  tidak
menikmatinya  saja?  Kenapa  tergesa-gesa?  Demi 


Takbir Cinta Zahrana
kebaikanmu sendiri, sebaiknya kaukembalikan saja gaun
pengantinmu itu. Jadilah perawan tua selamanya." 
Ia  kaget. SMS berisi kata-kata  teror  itu muncul  lagi.
Entah  kenapa,  kali  ini  ia  tidak  setenang  dulu
menghadapai SMS  teror  itu.  Kali  ini  ia  sangat marah.
Rasanya  ia  ingin membunuh  orang  yang mengirim SMS
kurang ajar itu. Dengan sangat geram ia membalas, 
"Semoga laknat Allah mengenaimu hai iblis tua! Semoga
kau  menemui  ajalmu  dalam  keadaan  hina  di  mata
manusia!" 

* * *

Persiapan perhelatan akad nikah dan walimatul ursy di
rumah  Zahrana  nyaris  sempurna.  Besok  acara
pernikahan  itu  akan berlangsung. Rumah  itu kini  ramai
dengan  orang.  Anak-anak  kecil  berlarian  main
kejarkejaran. 
Pengeras  suara  telah  dipasang.  Lagu-lagu  khas  pesta
pernikahan  dinyalakan.  Sore  itu  syair  lagu  dari  group
kasidah Nasyida Ria berkumandang, 
Duhai senangnya pengantin baru. 
Duduk bersanding bersenda gurau. 
Zahrana  tersenyum.  Besok  ia  akan  mengalaminya.
Duduk  bersanding  dengan  suaminya.  Zahrana  ingin
membantu  kaum  ibu  di  dapur  menyiapkan  segala
sesuatu. Tapi mereka meminta Zahrana  istirahat  saja.



Takbir Cinta Zahrana
Maka setelah shalat Isya ia langsung tidur, agar besok
ia benar-benar fresh dan segar. 
Lagu-lagu  bahagia  masih  mengalun.  Di  luar  kamarnya
kesibukan terus berjalan sebagaimana mestinya. Anak-
anak kecil tertawa-tertawa bahagia. 
Mereka  berlarian  sambil memegang  kue  di  tangannya.
Zahrana  tidur  dalam  kebahagiaan  tiada  terkira.  Lagu
yang  terakhir  ia  dengar  adalah  alunan  suara  Nasyida
Ria, 
Duhai senangnya pengantin baru. 
Duduk bersanding bersenda gurau. 
Ia benar-benar tidur pulas dan nyenyak. Jam setengah
tiga malam  ia dibangunkan. Tidur bahagianya hilang. Ia
kaget  ada  keributan.  Ibunya  menangis  menjerit-jerit
seperti  orang  kesurupan.  Bapaknya  terpekur  di  kursi
seperti patung. Linalah yang membangunkannya. 
"Ada apa ini Lin?" tanyanya heran. Ada kecemasan luar
biasa yang tiba-tiba masuk dalam hatinya. 
Lina yang ia tanya malah menangis. 
"Rahmad Rana? Rahmad calon suamimu Rana!" 
"Ada apa dengan Rahmad?" 
Lina  tidak menjawab malah  semakin keras  terisakisak.
Paman Rahmad yang ternyata ada di situ menjawab, 
"Rahmad telah tiada, Anakku! Rahmad meninggal dunia!" 
"Apa!!?"  Ia  kaget  bagai  tersengat  listrik  beribu-ribu
volt.  


Takbir Cinta Zahrana
"Rahmad  mati  tertabrak  kereta  api!"  lanjut  Paman
Rahmad. 
"Oh tidak! Tidak! Tidaaak!" Zahrana menjerit histeris.
Jeritannya  menyayat  hati  siapa  saja  yang
mendengarnya. Setelah  itu  ia pingsan  seketika. Semua
yang ada di rumah itu terpukul. Para tetangga Zahrana
yang  mengetahui  apa  yang  sesungguhnya  terjadi  ikut
sedih dan meneteskan airmata. 
Para tetangga itu lalu bertanya satu-sama-lain, 
"Kenapa  ini  bisa  terjadi?  Bagaimana  Rahmad  bisa
tertabrak kereta api? Di malam menjelang akad nikah,
bukankah sebaiknya ia di rumah saja istirahat? Kenapa
bisa sampai tertabrak kereta api? Apa yang  ia  lakukan
sebenarnya?" 
Paman Rahmad menjelaskan, 
"Habis  shalat Maghrib  tadi  ada  yang menelpon  hpnya.
Katanya teman  lama  ingin bertemu di Pasar Mranggen.
Rahmad minta temannya itu datang ke rumah saja. Tapi
temannya  itu  mengatakan  tidak  bisa.  Temannya  itu
memaksa Rahmad pergi menemuinya. Karena berkaitan
dengan bisnis  yang  sangat  pen  ting. Dan Rahmad  akan
diajak  sedikit  mengetahui  prospeknya.  Akhirnya
Rahmad  pergi.  Sekalian  beli  peci  baru.  Sebenarnya
keluarga  melarang,  tapi  Rahmad  memaksa  pergi.  Ia
memaksa pergi  sendirian. Saudara sepupunya mau  ikut
bersamanya  tapi  dilarangnya  dengan  alasan  tenaga
saudara sepupunya itu sangat dibutuhkan di rumah. 
Sampai  jam  sepuluh malam Rahmad belum  juga pulang.
Sebagian  orang  cemas,  sebagian  yang  lain  marah,



Takbir Cinta Zahrana
Rahmad  tidak  segera  pulang  malah  begadang  dengan
temannya yang tak dijelaskan siapa. 
Tepat  tengah  malam  tadi  dua  orang  polisi  datang.
Mereka memberitahu ada mayat tertabrak kereta api,
dan dari KTP di dompetnya diketahui bernama Rahmad.
Sebagian orang memastikan ke tempat kecelakaan. Dan
benar  mayat  yang  berlumuran  darah  itu  memang
Rahmad." 
Mendengar  cerita  itu  semua  diam.  Semua  membisu.
Semua  larut  dalam  kesedihan  yang  dalam.  Zahrana
masih pingsan. 

***

Pagi harinya bukan  pesta  pernikahan  yang digelar  tapi
upacara belasungkawa kematian. Tak ada  lagu bahagia.
Tak  ada  senyum  dan  canda. Tak  ada  gelak  tawa. Yang
ada  adalah  mata  yang  berkaca-kaca  dan  rinai  tangis
dalam jiwa. 
Zahrana  belum  bisa  menerima  apa  yang  terjadi.  la
masih  pingsan  berkali-kali.  Lina  berinisiatif  membawa
Zahrana ke rumah sakit. Zahrana harus dijauhkan dari
suasana yang masih diselimuti sedih itu. Zahrana harus
dijauhkan  dari  rumahnya,  di  mana  ia  siap
melangsungkan  akad  nikah,  namun  tiba-tiba
menciptakan trauma baginya. 
Lina  membawa  Zahrana  yang  masih  pingsan  ke  RS.
Roemani. Lina memilihkan kamar VIP agar Zahrana bisa
beristirahat dengan nyaman. Menjelang Zuhur Zahrana 


Takbir Cinta Zahrana
siuman.  Lina  ada  di  sampingnya menenangkan.  Setelah
minum air putih tiga teguk Zahrana menangis. 
"Lebih baik  aku mati  saja Lin. Aku  nyaris  tidak kuat!"
katanya dalam pelukan Lina dengan terisak-isak. 
"Sebut nama Allah ya Rana! Sebut nama Allah! Ingatlah
Allah! Bersabarlah! Mintalah kepada Allah agar musibah
ini  diberi  ganti  yang  lebih  baik."  Lina  mencoba
menguatkan. 
"Tapi  aku  bisa  gila  Lin.  Aku  bisa  gila!  Aku  shock!
Daripada aku gila lebih baik aku mati saja!" 
"Tidak,  kau  tidak  akan  gila.  Kau  akan  baik-baik  saja.
Percayalah ini ujian dari Allah untuk memilihmu menjadi
kekasih-Nya." 
"Tak tahu aku harus bagaimana Lin." 
"Sudahlah  kau  istirahat  dulu.  Tubuhmu  sangat  lemah.
Banyaklah  berzikir. Dengan  banyak  berzikir  hati  akan
tenang!" 
Dengan  setia  Lina menemani Zahrana. Segala  usaha  ia
kerahkan untuk menghibur teman karibnya itu. 
"Anakmu  bagaimana  Lin,  kalau  kau  di  sini?"  tanya
Zahrana. 
"Tenang  sudah  ada  yang  mengurus.  Anakku  sedang
bersama kakek dan neneknya di Ungaran." 
Tiba-tiba airmata Zahrana kembali keluar. 
"Bahagianya  punya  anak.  Kau  beruntung  Lin.  Punya
suami baik. Anak  lucu-lucu. Keluarga besar yang penuh
kasih  sayang.  Sementara  aku.  Jangankan  anak.  Suami
saja tidak punya. Baru mau punya sudah pergi...." 



Takbir Cinta Zahrana
Kata Zahrana sambil menangis memandang langit-langit
kamar rumah sakit. 
"Sudahlah  Rana.  Sudahlah.  Hanya  belum  tiba  saatnya
saja.  Nanti  kalau  tiba  saatnya  kau  insya  Allah  akan
memiliki yang lebih baik dari yang aku miliki." 
"Entahlah  Lin,  harapanku  sudah  pupus.  Aku  merasa
tidak bergairah hidup lagi." 
"Tidak Rana.  Kau  tidak  boleh  pupus  harapan.  Ingatlah
Allah Mahaluas  kasih  sayang-Nya.  Percayalah  ini  cuma
ujian kecil. Masih banyak hamba Allah di muka bumi ini
yang diuji dengan ujian yang jauh lebih besar dari yang
kaualami.  Ayolah  Rana,  kau  harus  tabah!  Kau  harus
tegar! Kau  harus  kuat! Kau  harus  terus maju! Kau  tak
boleh  menyerah.  Putus  asa  berarti  kau  menyerahkan
dirimu dalam perangkap setan!" 
"Yah doakan aku ya Lin. Semoga aku kuat. Tapi bagiku
ini sangat berat!" 
"Aku  tahu  ini  berat,  tapi  aku  yakin  kau  mampu
menghadapinya Rana. Aku yakin." 
"Aku  beruntung  punya  teman  sepertimu  Lina.  Terima
kasih  ya  Lin...Kau  baik  sekali!"  Lirih  Zahrana  dengan
mata berlinang-linang. 
"Aku  juga  sangat  beruntung  punya  teman  sepertimu
Rana.  Aku  banyak  belajar  kesabaran  dan  ketegaran
justru darimu. Aku selalu berdoa agar kau bahagia." 
Pintu diketuk. Seorang dokter berjilbab masuk. Dengan
ramah  dokter  setengah  baya  itu  memeriksa  kondisi
Zahrana. Semua keluhan Zahrana  ia dengarkan dengan 


Takbir Cinta Zahrana
penuh  perhatian.  Sesekali  dokter  itu  menghiburnya
dengan perkataan yang lembut dan menyejukkan. 
Senyumnya mengalirkan kesembuhan. 
"Jadi,  ibu  ini  Ibu  Zahrana  yang  pengajar  di  Fakultas
Teknik Universitas Mangunkarsa itu?" 
Zahrana mengangguk. 
"Berarti ibu kenal dengan anak saya ya?" 
"Siapa nama anak Bu Dokter?" 
"Namanya Hasan. Hasan Baktinusa." 
"O  kenal.  Bahkan  sangat  kenal.  Selamat  ya  Bu  atas
diwisudanya  Hasan  sebagai  wisudawan  terbaik.  Salam
buat Hasan. Semoga urusan beasiswanya lancar." 
"Ya  nanti  saya  sampaikan.  Hasan  sering  sekali  cerita
tentang  Bu  Zahrana.  Terima  kasih  telah  banyak
membantu anak saya." 
"Sama-sama, Bu." 
Pertemuan  dengan  dokter  berjilbab  yang  ternyata
ibundanya Hasan itu membuatnya seolah bisa bernafas.
Dokter berjilbab itu juga bisa menyegarkannya dengan
sedikit  cerita  masa  mudanya  yang  sebenarnya  mirip
dengan  Zahrana.  Bu  dokter  bernama  Zulaikha,  biasa
dipanggil  Bu  Dokter  Zul  itu  ternyata  juga  menikah
dalam usia yang sangat terlambat. 
"Yang  sudah  terjadi  biarlah  berlalu.  Diratapi  seperti
apapun  tak  akan  kembali.  Jodoh  itu  terkadang
dikejarkejar  tidak  tertangkap.  Tapi  terkadang  tanpa
dikejar  datang  sendiri.  Yang  paling  penting  adalah



Takbir Cinta Zahrana
dekat dengan Allah dalam keadaan  susah dan bahagia.
Senang dan sedih." 
Zahrana  seperti  mendapatkan  suntikan  darah  segar.
Daya hidupnya tumbuh kembali. Dalam hati dia berkata, 
"Ya benar. Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi
seperti apapun tak akan kembali." 
Sebelum  pergi  Bu  Dokter  itu  berkata,  "Ada  nasihat
sangat bagus sekali dari Anton Chekov." 
"Apa itu Bu?" tanya Zahrana pelan. 
"Anton Chekov pernah menulis, 'Suatu saat kamu perlu
untuk  tidak  memikirkan  kesuksesan  dan  kegagalan.
Jangan biarkan hal itu mengganggu dirimu!' ." 
"Nasihat yang baik sekali Bu." 
"Ya.  Tidak  ada  salahnya  untuk  memperkaya  jiwa
kaubaca juga karya-karya sastra." 
"Terima kasih Bu atas semuanya." 

* * *

Derita  Zahrana  ternyata  tidak  cukup  sampai  di  situ.
Tanpa sepengetahuannya, di rumahnya terjadi musibah
kedua. Pak Munajat, ayahnya, yang memang telah renta
tidak kuat menahan tekanan batin. Ia terkena serangan
jantung.  Dengan  cepat  ia  dilarikan  ke  rumah  sakit.
Namun  tak  tertolong.  Nyawanya  melayang  di
perjalanan.  


Takbir Cinta Zahrana
Hari  itu  ia  meninggal  menyusul  calon  menantunya.
Berita kematian Pak Munajat tidak disampaikan kepada
Zahrana.  Zahrana  baru  tahu  setelah  ia  pulang  dari
rumah sakit dengan jiwa yang telah kukuh. 
Mengetahui  ayahnya  telah  tiada  ia  menangis,  namun
tidak  sampai  pingsan.  Lengkap  sudah  penderitaan
Zahrana. 
Berita  pernikahan  yang  tidak  jadi  karena  pengantin
lelakinya  tertabrak  kereta  api  itu  dimuat  koran
terkemuka  Jawa  Tengah,  Suara  Mahardika.  Kematian
Rahmad yang mengenaskan masih diselidiki polisi. Polisi
menyelidiki  saksi-saksi.  Polisi  mencurigai  orang  yang
menelpon Rahmad. Orang itu belum juga ditemukan dan
masih dalam pencarian. 
Beberapa  hari  setelah  itu  teman-temannya
berdatangan  mengucapkan  bela  sungkawa.  Juga
temanteman  dosen  Fakultas Teknik. Hampir  semuanya
datang. 
Termasuk  Bu Merlin  dan  Pak  Karman. Zahrana  sangat
kaget  ketika  Pak  Karman  datang. Di  hadapan Zahrana
Pak Karman berkata pelan sekali, 
"Saya ikut berduka. Semoga almarhum berdua diterima
di  sisi-Nya.  Saya  berharap  semoga  gaun  pengantinmu
benar-benar telah kaukembalikan ke Solo!" 
Zahrana tersentak. Kata-kata Pak Karman bagai aliran
listrik  yang  menyengatnya.  Kata-kata  itu  menguatkan
keyakinannya  bahwa  yang  menterornya  selama  ini
adalah  Pak  Karman.  Dan  bagaimana  bisa  Pak  Karman
tahu ia membeli gaun pengantin itu dari Solo. 



Takbir Cinta Zahrana
Tiba-tiba  firasatnya  mengatakan  kematian  calon
suaminya  ada  hubunganya  dengan  SMS  terakhir  Pak
Karman.  Dan  pada  hakikatnya,  kata-kata  Pak  Karman
yang  baru  saja  ia  dengar  adalah  satu  bentuk  teror
dahsyat  yang  hendak  melumpuhkannya  saat  itu.  Tiba-
tiba  kekuatannya  bangkit.  Ia  merasa  tidak  boleh
terpancing. Ia harus bisa mengendalikan diri. Ia harus
menang. Ia harus tenang. 
"Terima kasih berkenan datang Pak." Jawabnya dengan
pura-pura tidak memperhatikan perkataan Pak Karman.  


Takbir Cinta Zahrana
Lima 


Entah kenapa firasat Zahrana terus mengatakan bahwa
Pak  Karman  ada  di  balik  kematian  calon  suaminya.  la
ingin  lapor  polisi,  jangan-jangan  orang  misterius  yang
menelpon calon suaminya sebelum kecelakaan itu adalah
Pak Karman, atau suruhannya. 
Tapi ia tidak punya bukti. la bingung harus berbuat apa.
la diskusikan kebingungannya  itu pada Lina. Hanya Lina
yang kini bisa diajaknya bicara. 
"Aku yakin sekali Lin. Iblis tua itu ada di balik kematian
Mas Rahmad. Aku yakin!" kata Zahrana berapi-api. 
Lantas  ia  menunjukkan  data-data  yang  menguatkan
dugaannya  itu.  Lina  menanggapinya  dengan  kepala
dingin, 
"Sudahlah  Rana.  Jangan  menambah  rumit  masalah.
Jangan merepotkan diri sendiri. Jangan menuduh tanpa
bukti! Salah-salah kau sendiri yang tertuduh nanti!" 
"Data-data  tadi.  SMS  saat  aku  mencoba  gaun
pengantin.  Perkataannya  saat  mengucapkan  bela
sungkawa.  Dan  dendamnya  kepadaku  sehingga  ingin
memecatku,  tidak  bisa  dianggap  sebagai  bukti?"  seru
Zahrana. 
"Aku  bukan  pakar  hukum  Rana.  Tapi  sebaiknya  kau
fokus pada yang lain saja. Diikhlaskan saja. Orang yang
ikhlas  itu  pasti  menang.  Karena  orang  yang  ikhlas  itu
selalu  disertai  Allah."  Sahut  Lina  pelan.  Ia  lalu
mengambil koran dari tasnya. 



Takbir Cinta Zahrana
"Apalagi  polisi  sudah  mengumumkan  bahwa  kematian
Rahmad  murni  karena  kecelakaan.  Coba  kaubaca  ini
baca!"  lanjut  Lina  sambil  menyodorkan  koran  Suara
Mahardika. 
Zahrana  mengambil  koran  dari  tangan  Lina.  Dan
membaca berita yang dimaksud Lina. Ia menghela nafas
panjang. Ada rasa kecewa dalam tarikan nafasnya. Lina
menangkapnya. Lina berusaha menghibur, 
"Sudahlah Rana,  sabarkan dirimu. Kuatkan  imanmu. Ini
ujian  bagimu  dari  Allah,  apakah  kau  jadi  hamba-Nya
yang pilihan apa  tidak. Kata Rasulullah,  semua perkara
bagi  orang  Mukmin  itu  baik.  Jika  dapat  nikmat
bersyukur,  dan  jika  dapat musibah  bersabar.  Semoga
musibah ini jadi pahala." Lanjut Lina. 
"Sebaiknya  kautenangkan  diri.  Nanti  ikhtiar  lagi."
Zahrana  mengangguk.  Dalam  hati  Zahrana  bertekad
untuk  semakin  mendekatkan  diri  kepada  Allah.  Ia
teringat  perkataan  Bu  Nyai  saat  memberikan  ucapan
bela sungkawa, 
"Kita semua milik Allah dan akan kembali kepada Allah.
Kita  semua  tunduk  pada  takdir-Nya.  Yang  Paling
berkuasa di atas segalanya adalah Allah Swt." 
Sejak  itu,  Zahrana  nyaris  tidak  pernah  meninggalkan
shalat  malam.  Ia  labuhkan  segala  keluhkesah  dan
deritanya kepada Yang Maha Menciptakan. 
Ia pasrahkan dirinya secara total kepada Allah. Dalam
keheningan malam ia berdoa, 
"Ya  Rabbi,  ikhtiar  sudah  hamba  lakukan,  sekarang
kepada-Mu hamba kembalikan semua urusan. Ya Rabbi, 


Takbir Cinta Zahrana
aku berlindung  kepada-Mu dari  semua  jenis  kejahatan
yang  terjadi  di  atas  muka  bumi  ini.  Ya  Rabbi,  aku
memohon  kepada-Mu  segala  kebaikan  yang  Engkau
ketahui. Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala hal
buruk yang Engkau ketahui." 

* * *

Bulan  Ramadhan  datang.  Zahrana  semakin  menikmati
ibadahnya.  Selesai  Tahajjud,  Zahrana  menyiapkan
sahur. Ibunya masih tidur. Begitu semua siap, Zahrana
membangunkan ibunya dengan penuh kelembutan. 
Sang ibu  lalu cuci muka, kemudian makan sahur. Rumah
itu terasa begitu sunyi. Hanya Zahrana dan ibunya yang
duduk di meja makan itu. 
"Ramadhan tahun lalu, kita masih makan sahur bersama
ayahmu ya Nak." 
"Iya Bu. Sudahlah Bu jangan diingat itu lagi." 
"Apakah  aku masih  berkesampatan melihat  kau  duduk
di pelaminan ya Nak." 
"Sudahlah  Bu.  Kita  serahkan  semuanya  kepada  Allah.
Jika Allah menghendaki apapun bisa terjadi." 
Selesai  sahur  Zahrana  membaca  Al-Quran  sementara
ibunya  shalat.  Begitu  azan  Subuh  berkumandang
mereka  berdua  pergi  ke  masjid.  Selain  untuk  shalat
Subuh  berjamaah  mereka  juga  ingin  mendengarkan
Kuliah  Subuh  yang  diadakan  selama  Bulan  Suci
Ramadhan. 



Takbir Cinta Zahrana
Habis  dari masjid Zahrana mengajak  ibunya  berjalan-
jalan menghirup udara pagi keliling komplek perumahan.
Mereka  berdua  masuk  rumah  ketika  matahari  sudah
terang  bersinar  di  ufuk.  Zahrana  langsung  mandi  dan
bersiap-siap mengajar. 
Jam  tujuh  kurang  sepuluh  menit  ia  sudah  sampai  di
kantor  STM  Al  Fatah. Waktu  sepuluh  menit  sebelum
bel  berbunyi  ia  gunakan  untuk  membaca  koran.  Ia
penasaran pada sebuah judul berita: 

KARENABERBUAT CABUL, SEORANG DEKAN MATI
DIBUNUH DI RUANG KERJANYA. 
"Semarang  -  Sepandai-pandai  orang  menyimpan
bangkai,  akhirnya  kecium  juga.  Peribahasa  ini  agaknya
layak  untuk  S  (55  tahun),  Dekan  Fakultas  Teknik
Universitas  Mangunkarsa  Semarang.  Perilaku  cabulnya
kepada  mahasiswi  yang  selama  ini  disembunyikannya
akhirnya  terkuak.  Ia  tewas  mengenaskan  di  ruang
kerjanya  ditikam  oleh H  (26  tahun) mahasiswa  Fakultas
Teknik  yang  marah  karena  isterinya  bernama  M  (24
tahun)  diperlakukan  tidak  senonoh  oleh  dekan  jebolan
universitas  terkemuka  dari  Amerika  Serikat  itu.  Dua
mahasiswa  suami  isteri  itu,  H  dan M  kini  ditahan  pihak
berwajib untuk penyelidikan lebih lanjut...." 

Zahrana  berkata  pelan  dalam  hati,  "Becik  ketitik  olo
kethoro!"  Ia  lalu  bertakbir  dalam  hati.  Ia  merasa
doanya  dikabulkan  oleh Allah. Yang  jahat  itu  akhirnya
mendapatkan balasannya sendiri. 
Setelah  itu  ia  masuk  kelas  dengan  penuh  semangat.
Anak-anak  didiknya  ia  ajak  ke  perpustakaan.  Ia
menugaskan kepada mereka untuk membaca buku yang
Peribahasa Jawa, artinya: perbuatan baik akan diketahui,
perbuatan buruk juga akan tampak. 


Takbir Cinta Zahrana
berkenaan  dengan  puasa.  Puasa  dan  hubungannya
dengan kesabaran. Seorang siswa yang kritis protes, 
"Kok  tugasnya  membaca  buku  tentang  puasa  Bu.
Memang  pelajaran  kita  ini  pelajaran  agama.  Pelajaran
kita kan tentang menggambar teknik listrik Bu?" 
Dengan tersenyum Zahrana menjawab, 
"Justru itulah karena dalam menggambar teknik listrik
memerlukan  kesabaran  yang  tinggi.  Maka  ibu  ingin
kalian memiliki ruh kesabaran itu. Mumpung kita masuk
bulan  puasa.  Ayo  kita  kaji  hubungan  puasa  dengan
kesabaran.  Dan  hubungan  puasa  dengan  penghematan.
Dan  juga hubungan puasa dengan prestasi umat Islam.
Kita ke perpustakaan selama dua  jam pelajaran. Kalian
membaca  yang  serius.  Hasil  bacaan  kalian,  kalian
presentasikan satu per satu minggu depan." 
Anak-anak siswa kelas satu  itu sangat gembira. Sebab
diajak  oleh  guru  masuk  ke  perpustakaan  yang  jarang
mereka  dapatkan.  Bagi  mereka,  cara  Bu  Zahrana
mengajar  itu  berbeda  dengan  guru-guru  yang  lain.
Selalu ada hal yang baru. Mata pelajaran menggambar
teknik listrik di tangan Bu Zahrana jadi pelajaran yang
sangat mengasyikkan. Bisa masuk  ke banyak  hal  tanpa
kehilangan fokus utama pelajaran. 
Sore itu setelah shalat Ashar Zahrana pergi ke warung
untuk membeli kelapa, gula merah, dan tepung terigu. la
ingin membuat kolak untuk buka puasa. Juga membuat
mendoan  dan  bakwan.  Ibunya  ternyata  sudah
menyiapkan  es  degan.  Sudah  dimasukkan  di  lemari  es
sejak siang. 



Takbir Cinta Zahrana
Pulang  dari warung  ia  agak  terkejut,  sebab  ada mobil
sedan tepat di depan rumahnya. Ia menduga-duga siapa
yang datang. Setelah masuk  ia tahu kalau yang datang
ternyata Bu Dokter Zulaikha, ibundanya Hasan. 
"Dari mana Bu Zahrana?" tanya Bu Zul. 
"Dari warung Bu Zul,  ini  beli  bahan-bahan  untuk  bikin
kolak. Sendirian ya Bu?" 
Iya. 
"Hasan apa kabarnya? Urusan beasiswanya ke Malaysia
beres semua?" 
"Alhamdulillah  Hasan  baik-baik  saja.  Dia  titip  salam.
Dia tadi masih sibuk nulis-nulis entah nulis apa." 
"Senang  ibu  berkenan  dolan  ke  sini.  Ini  mampir  atau
memang menyengaja ke sini?" tanya Zahrana santai. 
"Menyengaja ke sini em..." 
Ibunda Zahrana yang sedari tadi diam menyela, 
"Nak, Bu Zul  ini  datang  karena  ada  keperluan  penting
denganmu.  Katanya  ada  hal  serius  yang  ingin  beliau
konsultasikan denganmu. Sini biar  ibu yang bikin kolak,
kau bisa bincang-bincang dengan beliau." 
Bu Zul  langsung menimpal, "Maaf jika kedatangan saya
mengganggu." 
"O nggak apa-apa Bu," sahut Ibunda Zahrana cepat, 
"saya  tinggal  ke  belakang  dulu  ya  Bu.  Silakan  bicara
dengan Zahrana," lanjutnya lalu pergi ke arah dapur. 
Zahrana diam, Bu Zul pun diam. Suasana hening sesaat.  


Takbir Cinta Zahrana
"Eh..konsultasi  apa  ya  Bu?"  Zahrana  memecah
keheningan. 
"Eh ini. Tentang Hasan, anak saya." 
"Ada apa dengan Hasan, Bu?" 
"Sebelumnya  maaf  ya  Bu,  saya  tidak  bermaksud
menyinggung  siapa-siapa  lho.  Karena  saya  tahu,  ibu
termasuk yang didengar omongannya oleh Hasan, maka
saya konsultasi sama Bu Zahrana. Begini, dua hari yang
lalu  Hasan  minta  nikah  Bu.  Menurut  ibu  bagaimana?
Padahal dia kan mau kuliah di Malaysia Bu." 
Zahrana mengerutkan dahi, 
"Kalau menurut  saya pribadi  tidak ada  salahnya Hasan
menikah baru ke Malaysia. Kalau bisa  isterinya dibawa,
kalau tidak bisa ya tidak apa-apa  isterinya ditinggal di
Indonesia. Toh Malaysia-Indonesia itu dekat. Sekarang
tiket pesawat juga murah." 
"Apa menurut Ibu, Hasan sudah  layak menikah? Sudah
layak  punya  isteri?  Dan  bisa  bertanggung  jawab
menghidupi anak jika punya anak?" 
"Pendapat  saya  ini  sangat  subjektif  dari  saya  Bu.
Menurut  saya  Hasan  sudah  sangat  layak  menikah.
Selama  saya  tahu  dia  di  kampus,  dia  bisa  diandalkan
tanggung  jawab  dan  kepemimpinannya.  Kenapa  Ibu
masih ragu dengan anak sendiri?" 
"Saya  tidak  ragu  Bu.  Tapi  saya  mencari  kemantapan.
Biar  mantap  jika  saya  melepas  Hasan  ke  dunia  baru
yang penuh perjuangan dan aral melintang." 



Takbir Cinta Zahrana
"Mantap  saja  Bu.  Menikah  dini  bagi  orang  seperti
Hasan  itu baik. Saya saja menyesal tidak menikah dini
dulu." 
"Itulah kenapa saya kemari. Selain tentang diri Hasan,
saya  ingin  berdiskusi  pada  ibu  tentang  calon  yang
diajukan Hasan." 
"Semoga  saja  saya  kenal  dengan  calon Hasan  itu.  Dia
kuliah sama dengan Hasan di Fakultas Teknik?" 
"Tidak Bu. Saya langsung saja ya Bu. Maaf sebelumnya,
Hasan  meminta  kepada  saya  untuk  melamar  Bu
Zahrana. Calon yang diajukan Hasan, anak saya itu Ibu." 
Zahrana kaget bagai disambar Halilintar. 
"S...saya Bu?!" 
"Iya. Ibu. Anak saya ingin menikahi ibu!" 
"Maaf, Bu. Mungkin Hasan  cuma bercanda. Saya  tidak
pernah  berlaku  yang  tidak-tidak  sama  Hasan  Bu,
sungguh."  Jawab  Zahrana  dengan  nada  takut  dan
kuatir. 
la  kuatir  jika  Bu  Zul  itu  datang  untuk  membuat
perhitungan  dengannya.  Takut  kalau  ia  dianggap
berhubungan dengan Hasan. 
"Nggak  Bu,  Hasan  tidak  bercanda.  Anakku  sangat
serius dalam hal ini." 
"Kalau begitu Hasan salah pilih, Bu." 
Bu Zul malah tersenyum, 
"Bu Zahrana kok kelihatannya takut ada apa tho, Bu?"  


Takbir Cinta Zahrana
"Ibu  harus  percaya  pada  saya  Bu.  Saya  tidak  punya
hubungan  apapun  dengan  Hasan  kecuali  dosen  dengan
muridnya Bu. Sungguh Bu!?" 
Bu Dokter Zul itu geleng-geleng kepala dan tersenyum.
Dia langsung paham maksud Zahrana. 
"Bu Zahrana,  saya  tidak pernah menuduh begitu. Saya
percaya  pada  ibu. Juga  percaya  pada  anak  saya. Saya
datang  kemari  untuk menunaikan  janji  saya  pada  anak
saya  itu. Saya berjanji akan membantunya menyunting
gadis manapun yang ingin dinikahinya selama akhlak dan
agamanya bagus. Dan ketika Hasan ingin menyunting Bu
Zahrana, saya  langsung setuju. Sebab saya sudah tahu
semuanya  tentang  ibu  dari  teman  ibu,  yaitu  Bu  Lina.
Saya berharap. Dan sangat berharap Bu Zahrana tidak
menolak  pinangan  ini.  Ini  pinangan  serius  tapi  belum
resmi.  Jika  Bu  Zahrana  serius  nanti  saya  akan
meminang  secara  resmi  dengan  membawa  Hasan  dan
ayahnya juga beberapa anggota keluarga." 
Zahrana  tidak  tahu  harus  menjawab  apa.  Apa  yang
disampaikan  Bu  Zul  itu  sangat  jelas  ia  dengar  dan
sangat jelas maksudnya. Tak ada yang tersembunyi lagi. 
"Ibu sudah tahu say a tapi Hasan belum tahu saya Bu." 
"Dia lebih tahu dari saya tentang diri Bu Zahrana. Apa
yang masih membuat Bu Zahrana ragu." 
"Saya  masih  belum  bisa  percaya  Bu.  Ini  hal  gila.
Mahasiswa melamar dosennya. Apa kata dunia?" 
"Harus bagaimana saya agar ibu percaya. Sumpah demi
Allah? Baiklah saya bersumpah demi Allah semua yang
saya  sampaikan  benar.  Apa  lagi?  Hal  gila?  Tidak  Bu,



Takbir Cinta Zahrana
tidak  gila. Melangkah  untuk mengikuti  sunah Rasul  itu
bukan  ide  gila.  Itu  ide baik. Dan mahasiswa meminang
dosen, apakah ada dalil yang mengharamkannya?" 
"Saya tidak tahu harus bicara apa lagi." 
"Berarti  menerima.  Tidak  bicara  berarti  diam.  Diam
tanda menerima." 
"Saya  ini  lebih  tua  dari  Hasan  Bu.  Dia  cocoknya  jadi
adik saya." 
"Syariat tidak menentukan batasan umur. Ibu memang
lebih  tua. Tapi  tidak  terpaut  jauh. Cuma empat  tahun.
Hasan  umurnya  29. Mukanya memang  baby  face.  Bagi
saya  sendiri  tidak masalah. Toh  suami  saya  juga  lebih
muda dua tahun dari saya." 
"Saya belum bisa menerima Bu?" 
"Kenapa?  Kata  ibu  tadi  Hasan  sudah  pantas  menikah
dan memiliki isteri. Apa lagi? Apa ada dalam diri Hasan
suatu  cacat  yang  menurut  ibu  layak  ditolak
lamarannya?" 
Zahrana diam.  la tidak tahu harus bagaimana.  la masih
belum  tahu  apa  yang  terjadi.  Hasan  melamarnya?
Bagaimana mungkin? Tapi ibunya sedemikian serius. Apa
yang harus ia putuskan. Zahrana tetap diam. 
"Diam  berarti menerima.  Saya  pamit  Bu, mana  ibunda
tadi?" 
Zahrana  tersentak  mendengar  Bu  Zul  mau  pamit.  Ia
berdiri mengikuti Bu Zul yang sudah berdiri. 
"Ibu benar-benar serius?" 
"Iya."  


Takbir Cinta Zahrana
"Hasan juga benar-benar serius?" 
"Iya." 
"Kalian sudah tahu kekuranganku dan maumenerimaku?" 
"Iya. Tak ada manusia yang sempurna." 
"Kalau begitu saya terima, tapi dengan syarat." 
"Apa syaratnya?" 
"Akad  nikahnya  nanti  malam  bakda  shalat  Tarawih  di
masjid.  Biar  disaksikan  oleh  seluruh  jamaah  masjid.
Maharnya seadanya saja." 
Kini  gantian  Bu  Zul  yang  tersentak  kaget.  Ia  tidak
menduga Bu Zahrana akan mensyaratkan begitu. 
"Apa nggak sebaiknya akadnya setelah Idul Fitri saja." 
"Tidak. Ibu sudah tahu kan cerita saya selama ini. Apa
ibu ingin saya mati kaku gara-gara saya tidak jadi nikah
lagi. Saya tidak ragu dengan keseriusan ini. Saya hanya
kuatir  ada  hal-hal  di  luar  kekuasaan  kita  yang
membatalkan rencana itu. Bagi saya lebih baik ya nanti
malam, atau tidak sama sekali." 
Bu  Zulaikha  memandang  wajah  Zahrana  lekat-lekat.
Wajah yang teduh, namun sangat berkarakter. 
"Baiklah. Dalam hal  ini saya tidak memutuskan sendiri.
Saya  akan bicara  sama  anak dan keluarga. Saya  pamit
dulu. Setelah Maghrib nanti saya telpon." 
Dokter berjilbab itu pulang setelah bersalaman dengan
Zahrana dan ibunya. Zahrana memandang sedan dokter
itu  hingga  hilang  di  tikungan.  Ada  kebahagiaan
menyusup  dalam  hatinya.  Tapi  juga  ada  kecemasan.  la



Takbir Cinta Zahrana
memang  lagi  bahagia.  Namun  untuk  membentengi  diri
agar  tidak  kecewa  lagi  setelah  kebahagiaan  di  depan
mata,  ia  menganggap  dialognya  dengan  Bu  Zul  tadi
hanya  main-main.  Dialog  latihan  orang  bermain  drama
atau sandiwara. 

* * *

Azan Maghrib berkumandang. Tanda waktu buka puasa
tiba. Zahrana meneguk kolak dan makan mendoan. Ada
kenikmatan  luar  biasa  saat  buka.  Kenikmatan  yang
susah diungkapkan dengan kata-kata. 
Hanya  orang-orang  yang  berpuasa  saja  yang  bisa
merasakannya.  Pembicaraan  dengan  Bu  Zul  itu  tidak
Zahrana  sampaikan  kepada  ibunya.  Ia  tak  ingin  ibunya
kecewa jika yang diharapkan tak terjadi lagi. 
Setelah shalat Maghrib Zahrana mendapat telpon dari
Bu Zul, 
"Bu  Zahrana.  Mengenai  keputusan  syarat  yang  Bu
Zahrana  ajukan,  ini  ibu  langsung  dengar  sendiri  suara
Hasan ya.." 
Suara di hand phone Zahrana lalu berubah, 
"Bu Zahrana  ini Hasan. Saya setuju dengan syarat  ibu.
Ibu  siapkan  wali  dan  saksinya  saya  akan  siapkan
maharnya dan penghulunya. Kami sekeluarga insya Allah
berangkat  sekarang,  dan  kami  shalat  Isya  di  masjid
dekat rumah Ibu." 
"Kau serius Hasan?"  


Takbir Cinta Zahrana
"Iya Bu." 
"Kau bisa mencintaiku?" 
"Iya Bu." 
"Kalau  begitu  jangan  lagi  kaupanggil  aku  Ibu.  Panggil
aku, Dik. Dik Zahrana. Coba kau bisa nggak?" 
Zahrana merasa tak perlu malu. 
"Saya coba...Dik Zahrana, tunggu aku di masjid." 
Mata  Zahrana  berkaca-kaca  mendengarnya.  Ribuan
hamdalah menyesak dalam dada. 
"Te..terima kasih. Kita bertemu di masjid, insya Allah." 
Sambungan ditutup. 
Zahrana  menangis  tersedu-sedu. Melihat  hal  itu  sang
ibu bingung dan bertanya-tanya pada Zahrana. Dengan
terisak-isak  Zahrana  menjelaskan  apa  yang  terjadi.
Sang  ibu  turut  menangis.  Zahrana  lalu  sujud  syukur.
Dalam  sujudnya  Zahrana  memohon  kepada  Allah  agar
akad  nikah  itu  benar-benar  terjadi.  Tidak  sekadar
angan-angan dan mimpi. 
Dan pada malam kedua di Bulan Suci Ramadhan itu, apa
yang  diharapkan  Zahrana  terjadi.  Akad  nikah  setelah
shalat tarawih disaksikan oleh jamaah yang membludak.
Sebagian besar adalah tetangga Zahrana. 
Mereka  turut  terharu.  Saat  akad  nikah  ibu  Zahrana
menangis  tersedu-sedu.  Beberapa  ibu-ibu  juga
menangis. 
Malam  itu  Zahrana  sangat  bahagia.  Hasan  juga
merasakan  hal  yang  sama.  Usai  akad  nikah  Hasan



Takbir Cinta Zahrana
mengajak  Zahrana  naik  mobilnya  menuju  hotel
termewah  di  tengah  Kota  Semarang.  Di  dalam  hotel,
dengan  penuh  kekhusyukan  Zahrana  menunaikan
ibadahnya  sebagai  seorang  isteri.  Ibadah  yang  sudah
lama ia tunggu-tunggu bersama seorang suami. 
Di  mata  Hasan,  Zahrana  yang  tampak  manis  dengan
jilbab  putihnya  ternyata  jauh  lebih  manis  ketika
rambutnya  terurai.  Hanya  dia  yang  tahu  seperti  apa
manisnya  Zahrana.  Mereka  berdua  saling  mengagumi,
saling mencintai dan saling menghormati. 
Kebahagiaan  Zahrana  malam  itu  menghapus  semua
derita yang dialaminya. Tasbih selalu mengiringi tarikan
nafasnya.  Ia  semakin  yakin,  bahwa  Allah  bersama
orang-orang yang sabar dan ihsan. 
Malam  itu, benar-benar malam kesaksian Zahrana atas
Tasbih,  Tahmid  dan  Takbir  Cinta  yang  didendangkan
Allah 'Azza wa Jalla kepadanya. 
Subhaanallaah  wal  hamdulillaah,  wa  laailaahaillallaahu
wallaahu akbar! 

Candiwesi-Salatiga-Pesantren Basmala-Semarang, 
Ahad 30 Juli 2006 Pukul 15:51 
READMORE